Minggu, 10 Januari 2016

Pernyataan Para Ulama Tentang Kesesatan Akidah Hulul Dan Wahdah al-Wujud



Dalam tinjauan Al-Imâm al-Hafiszh as-Suyuthi, keyakinan hulûl, ittihâd atau wahdah al-wujûd secara hitoris awal mulanya berasal dari kaum Nasrani. Mereka meyakini bahwa Tuhan menyatu dengan nabi Isa, dalam pendapat mereka yang lain menyatu dengan nabi Isa dan ibunya; Maryam sekaligus. Hulûl dan wahdah al-wujûd ini sama sekali bukan berasal dari ajaran Islam. Bila kemudian ada beberapa orang yang mengaku sufi meyakini dua akidah tersebut atau salah satunya, jelas ia seorang sufi gadungan. Para ulama, baik ulama Salaf maupun Khalaf dan kaum sufi sejati dan hingga sekarang telah sepakat dan terus memerangi dua akidah tersebut. (as-Suyuthi, al-Hâwî…, j. 2, h. 130, Pembahasan lebih luas tentang keyakinan kaum Nasrani dalam teori hulûl dan Ittihâd lihat as-Syahrastani, al-Milal Wa al-Nihal, h. 178-183).


Al-Imâm al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi menilai bahwa seorang yang berkeyakinan hulûl atau wahdah al-wujûd jauh lebih buruk dari pada keyakinan kaum Nasrani. Karena bila dalam keyakinan Nasrani Tuhan meyatu dengan nabi Isa atau dengan Maryam sekaligus (yang mereka sebut dengan doktrin trinitas), maka dalam keyakinan hulûl dan wahdah al-wujûd Tuhan menyatu dengan manusia-manusia tertentu, atau menyatu dengan setiap komponen dari alam ini. 


Demikian pula dalam penilaian Imam al-Ghazali, jauh sebelum as-Suyuthi, beliau sudah membahas secara gamblang kesesasatan dua akidah ini. Dalam pandangan beliau, teori yang diyakini kaum Nasrani bahwa al-lâhût (Tuhan) menyatu dengan al-nâsût (makhluk), yang kemudian diadopsi oleh faham hulûl dan ittihâd adalah kesesatan dan kekufuran (as-Suyuthi, al-Hâwî…, j. 2, h. 130). Di antara karya al-Ghazali yang cukup komprehensif dalam penjelasan kesesatan faham hulûl dan ittihâd adalah al-Munqidz Min adl-Dlalâl dan al-Maqshad al-Asnâ Fî Syarh Asmâ’ Allah al-Husnâ. Dalam dua buku ini beliau telah menyerang habis faham-faham kaum sufi gadungan. Termasuk juga dalam karya fenomenalnya, Ihyâ ‘Ulumiddîn.


Imam al-Haramain dalam kitab al-Irsyâd juga menjelaskan bahwa keyakinan ittihâd berasal dari kaum Nasrani. Kaum Nasrani berpendapat bahwa ittihâd hanya terjadi hanya pada nabi Isa, tidak pada nabi-nabi yang lain. Kemudian tentang teori hulûl dan ittihâd ini kaum Nasrani sendiri berbeda pendapat, sebagain dari mereka menyatakan bahwa yang menyatu dengan tubuh nabi Isa adalah sifat-sifat ketuhanan. Pendapat lainnya mengatakan bahwa dzat tuhan menyatu yaitu dengan melebur pada tubuh nabi Isa laksana air yang bercampur dengan susu. Selain ini ada pendapat-pendapat mereka lainnya. Semua pendapat mereka tersebut secara garis besar memiliki pemahaman yang sama, yaitu pengertian kesatuan (hulûl dan ittihâd). Dan semua faham-faham tersebut diyakini secara pasti oleh para ulama Islam sebagai kesesatan. (as-Suyuthi, al-Hâwî…, j. 2, h. 130, mengutip dari Imam al-Haramain dalam al-Irsyâd).


Imam al-Fakh ar-Razi dalam kitab al-Mahshal Fî Ushûliddîn, menuliskan sebagai berikut: 

“Sang Pencipta (Allah) tidak menyatu dengan lain-Nya. Karena bila ada sesuatu bersatu dengan sesuatu yang lain maka berarti sesuatu tersebut menjadi dua, bukan lagi satu. Lalu jika keduanya tidak ada atau menjadi hilang (ma’dûm) maka keduanya berarti tidak bersatu. Demikian pula bila salah satunya tidak ada (ma’dûm) dan satu lainnya ada (maujûd) maka berarti keduanya tidak bersatu, karena yang ma’dûm tidak mungkin bersatu dengan yang maujûd” (as-Suyuthi, al-Hâwî…, j. 2, h. 130, mengutip dari al-Fakh ar-Razi dalam al-Mahshal Fi Ushul al-Dîn).


Al-Qâdlî ‘Iyadl dalam kitab al-Syifâ menyatakan bahwa seluruh orang Islam telah sepakat dalam meyakini kesesatan akidah hulûl dan kekufuran orang yang meyakini bahwa Allah menyatu dengan tubuh manusia. Keyakinan-keyakinan semacam ini, dalam tinjauan al-Qâdlî ‘Iyadl tidak lain hanya datang dari orang-orang sufi gadungan, kaum Bathiniyyah, Qaramithah, dan kaum Nasrani (Al-Qâdli ‘Iyadl, al-Syifâ…, j. 2, h. 236). Dalam kitab tersebut al-Qâdlî ‘Iyadl menuliskan:


“Seorang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, atau berkeyakinan bahwa Allah adalah benda, maka dia tidak mengenal Allah (kafir) seperti orang-orang Yahudi. Demikian pula telah menjadi kafir orang yang berkeyakinan bahwa Allah menyatu dengan makhluk-makhluk-Nya (hulûl), atau bahwa Allah berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain seperti keyakinan kaum Nasrani” (Al-Qâdli ‘Iyadl, al-Syifâ…, j. 2, h. 236).


Imam Taqiyyuddin Abu Bakr al-Hishni dalam Kifâyah al-Akhyâr mengatakan bahwa kekufuran seorang yang berkeyakinan hulûl dan wahdah al-wujûd lebih buruk dari pada kekufuran orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani. Kaum Yahudi menyekutukan Allah dengan mengatakan bahwa ‘Uzair sebagai anak-Nya. Kaum Nasrani menyekutukan Allah dengan mengatakan bahwa Isa dan Maryam sebagai tuhan anak dan tuhan Ibu; yang oleh mereka disebut dengan doktrin trinitas. Sementara pengikut akidah hulûl dan wahdah al-wujûd meyakini bahwa Allah menyatu dengan dzat-dzat makhluk-Nya. Artinya dibanding Yahudi dan Nasrani, pemeluk akidah hulûl dan wahdah al-wujûd memiliki lebih banyak tuhan; tidak hanya satu atau dua saja, karena mereka menganggap bahwa setiap komponen dari alam ini merupakan bagian dari Dzat Allah, Na’udzu Billâh. Imam al-Hishni menyatakan bahwa siapapun yang memiliki kemampuan dan kekuatan untuk memerangi akidah hulûl dan akidah wahdah al-wujûd maka ia memiliki kewajiban untuk mengingkarinya dan menjauhkan orang-orang Islam dari kesesatan-kesesatan dua akidah tersebut (Lihat al-Hushni, Kifâyah al-Akhyar…, j. 1, h. 198).


Imam Ahmad ar-Rifa’i, perintis tarekat ar-Rifa’iyyah, di antara wasiat yang disampaikan kepada para muridnya berkata: 


“Majelis kita ini suatu saat akan berakhir, maka yang hadir di sini hendaklah menyampaikan kepada yang tidak hadir bahwa barang siapa yang membuat bid’ah di jalan ini, merintis sesuatu yang baru yang menyalahi ajaran agama, berkata-kata dengan wahdah al-wujûd, berdusta dengan keangkuhannya kepada para makhluk Allah, sengaja berkata-kata syathahât, melucu dengan kalimat-kalimat tidak dipahaminya yang dikutip dari kaum sufi, merasa senang dengan kedustaannya, berkhalwat dengan perempuan asing tanpa hajat yang dibenarkan syari’at, tertuju pandangannya kepada kehormatan kaum muslimin dan harta-harta mereka, membuat permusuhan antara para wali Allah, membenci orang muslim tanpa alasan yang dibenarkan syari’at, menolong orang yang zhalim, menghinakan orang yang dizhalimi, mendustakan orang yang jujur, membenarkan orang yang dusta, berprilaku dan berkata-kata seperti orang-orang yang bodoh, maka saya terbebas dari orang semacam ini di dunia dan di akhirat (lihat Sawâd al-‘Ainain Fî Manâqib Abî al-‘Alamain karya al-Imam as-Suyuthi).


Al-Qâdlî Abu al-Hasan al-Mawardi mengatakan bahwa seorang yang berpendapat hulûl dan ittihâd bukan seorang muslim yang beriman dengan syari’at Allah. Seorang yang berkeyakinan hulûl ini tidak akan memberikan manfa’at pada dirinya sekalipun ia berkoar membicakaran akidah tanzih. Karena seorang yang mengaku Ahl at-Tanzîh namun ia meyakini akidah hulûl atau ittihâd adalah seorang mulhid (kafir). Dalam tinjauan al-Mâwardi, bukan suatu yang logis bila seseorang mengaku ahli tauhid sementara itu ia berkeyakinan bahwa Allah menyatu pada raga manusia. Sama halnya pengertian bersatu di sini antara sifat-sifat tuhan dengan sifat-sifat manusia, atau dalam pengartian melebur antara dua dzat; Dzat Allah dengan dzat makhluk-Nya. Karena bila demikian maka berarti tuhan memiliki bagian-bagian, permulaan dan penghabisan, serta memiliki sifat-sifat makhluk lainnya (as-Suyuthi, al-Hâwî…, j. 2, h. 132).


Al-Hâfizh as-Suyuthi dalam kutipannya dari kitab Mi’yâr al-Murîdîn, berkata: 


“Ketahuilah bahwa asal kemunculan kelompok sesat dari orang-orang yang berkeyakinan ittihâd dan hulûl adalah akibat dari kedangkalan pemahaman mereka terhadap pokok-pokok keyakinan (al-Ushûl) dan cabang-cabangnya (al-furû’). Dalam pada ini telah banyak atsar yang membicarakan untuk menghindari seorang ahli ibadah (‘Âbid) yang bodoh. Seorang yang tidak berilmu tidak akan mendapatkan apapun dari apa yang ia perbuatnya, dan orang semacam ini tidak akan berguna untuk melakukan sulûk” (as-Suyuthi, al-Hâwî…, j. 2, h. 133).


Seorang sufi kenamaan, Imam Sahl ibn ‘Abdullah at-Tustari, berkata: 


“Dalil atas kesesatan faham kasatuan (ittihâd) antara manusia dengan Tuhan adalah karena bersatunya dua dzat itu sesuatu yang mustahil. Dua dzat manusia saja, misalkan, tidak mungkin dapat disatukan karena adanya perbedaan-perbedaan di antara keduanya. Terlebih lagi antara manusia dengan Tuhan, sangat mustahil. Karena itu keyakinan ittihâd adalah sesuatu yang batil dan mustahil, ia tertolak secara syara’ juga secara logika. Oleh karenanya kesesatan akidah ini telah disepakati oleh para nabi, para wali, kaum sufi, para ulama dan seluruh orang Islam. Keyakinan ittihâd ini sama sekali bukan keyakinan kaum sufi. Keyakinan ia datang dari mereka yang tidak memahami urusan agama dengan benar, yaitu mereka yang menyerupakan dirinya dengan kaum Nasrani yang meyakini bahwa al-nasut (nabi Isa) menyatu dengan al-lahut (Tuhan)” (as-Suyuthi, al-Hâwî…, j. 2, h. 134).


Dalam tinjauan Imam al-Ghazali, dasar keyakinan hulûl dan ittihâd adalah sesuatu yang tidak logis. Kesatuan antara Tuhan dengan hamba-Nya, dengan cara apapun adalah sesuatu yang mustahil, baik kesatuan antara dzat dengan dzat, maupun kesatuan antara dzat dengan sifat. Dalam pembahasan tentang sifat-sifat Allah, al-Ghazali menyatakan memang ada beberapa nama pada hak Allah yang secara lafazh juga dipergunakan pada makhluk. Namun hal ini hanya keserupaan dalam lafazhnya saja, adapun secara makna jelas berbeda. Sifat al-Hayât (hidup), misalkan, walaupun dinisbatkan kepada Allah dan juga kepada manusia, namun makna masing-masing sifat tersebut berbeda. Sifat hayat pada hak Allah bukan dengan ruh, tubuh, darah, daging, makanan, minuman dan lainnya. Sifat hayat Allah tidak seperti sifat hayat pada manusia.


Imam al-Ghazali menuliskan bahwa manusia diperintah untuk berusaha meningkatkan sifat-sifat yang ada pada dirinya supaya mencapai kesempurnaan. Namun demikian bukan berarti bila ia telah sempurna maka akan memiliki sifat-sifat seperti sifat-sifat Allah. Hal ini sangat mustahil dengan melihat kepada beberapa alasan berikut; 


Pertama; Mustahil sifat-sifat Allah yang Qadîm (tidak bermula) berpindah kepada dzat manusia yang hâdits (Baru), sebagaimana halnya mustahil seorang hamba menjadi Tuhan karena perbedaan sifat-sifat dia dengan Tuhan-nya. 


Kedua; Sebagaimana halnya bahwa sifat-sifat Allah mustahil berpindah kepada hamba-Nya, demikian pula mustahil dzat Allah menyatu dengan dzat hamba-hamba-Nya. Dengan demikian maka pengertian bahwa seorang manusia telah sampai pada sifat-sifat sempurna adalah dalam pengertian kesempurnaan sifat-sifat manusia itu sendiri. Bukan dalam pengertian bahwa manusia tersebut memiliki sifat-sifat Allah atau bahwa dzat Allah menyatu dengan manusia tersebut (hulûl dan ittihâd) .


Al-’Ârif Billâh al-‘Allâmah Abu al-Huda ash-Shayyadi dalam kitab al-Kaukab al-Durri berkata: 


“Barang siapa berkata: “Saya adalah Allah”, atau berkata: “Tidak ada yang wujud di alam ini kecuali Allah”, atau berkata: “Tidak ada yang ada kecuali Allah”, atau berkata: “Segala sesuatu ini adalah Allah”, atau semacam ungkapan-ungkapan tersebut, jika orang ini berakal, dan dalam keadaan sadar (shâhî), serta dalam keadaan mukallaf maka ia telah menjadi kafir. Tentang kekufuran orang semacam ini tidak ada perbedaan pendapat di antara orang-orang Islam. Keyakinan tersebut telah jelas-jelas menyalahi al-Qur’an. Karena dengan meyakini bahwa segala sesuatu adalah Allah berarti ia telah menafikan perbedaan antara Pencipta (Khâliq) dan makhluk, menafikan perbedaan antara rasul dan umatnya yang menjadi obyek dakwah, serta menafikan perbedaan surga dan neraka. Keyakinan semacam ini jelas lebih buruk dari mereka yang berkeyakinan hulûl dan ittihâd. Dasar mereka yang berakidah hulûl atau ittihâd meyakini bahwa Allah meyatu dengan nabi Isa. Sementara yang berkeyakinan segala sesuatu adalah Allah, berarti ia menuhankan segala sesuatu dari makhluk Allah ini, termasuk makhluk-makhluk yang najis dan yang menjijikan. Sebagian mereka yang berkeyakinan buruk ini bahkan berkata:


(قيل) وَمَا اْلكَلْبُ وَالْخِنْزِيْرُ إلاّ إلَهُنَا # وَمَا اللهُ إلاّ رَاهِبٌ فِي كَنِيْسَةٍ


“Tidaklah anjing dan babi kecuali sebagai tuhan kita, sementara Allah tidak lain adalah rahib yang ada di gereja”.


Ini jelas merupakan kekufuran yang sangat mengerikan dan membuat merinding tubuh mereka yang takut kepada Allah. Adapun jika seorang yang berkata-kata semacam demikian itu dalam keadaan hilang akal dan hilang perasaannya (jadzab) sehingga ia berada di luar kesadarannya maka ia tidak menjadi kafir. Karena bila demikian maka berarti ia telah keluar dari ikatan taklif, dan dengan begitu ia tidak dikenakan hukuman. Namun demikian orang semacam itu mutlak tidak boleh diikuti. Tidak diragukan bahwa kata-kata semacam di atas menyebabkan murka Allah dan rasul-Nya. Ketahuilah bahwa kaum Yang Haq adalah mereka yang tidak melenceng sedikitpun, baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan, dari ketentuan syari’at. Cukuplah bagi seseorang untuk memegang teguh syari’at, dan cukuplah Rasulullah sebagai pembawa syari’at adalah sebaik-baiknya Imam dan teladan yang harus diikuti” (Lihat al-Shayyadi, al-Kaukab al-Durry Fi Syarh Bait al-Quthb al-Kabir, h. 11-12).


Dalam al-Luma’, as-Sarraj membuat satu sub judul dengan nama “Bâb Fî Dzikr Ghalath al-Hululiyyah” (Bab dalam menjelaskan kesesatan kaum Hululiyyah). Beliau menjelaskan bahwa orang-orang yang berakidah hulûl adalah orang yang tidak memahami bahwa sebenarnya sesuatu dapat dikatakan bersatu dengan sesuatu yang lain maka mestilah keduanya sama-sama satu jenis. Padahal Allah tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya, dan tidak ada suatu apapun yang menyerupai-Nya. Kesesatan kaum hulûl ini sangat jelas, mereka tidak membedakan antara sifat-sifat al-Haq (Allah) dengan sifat al-Khalq (makhluk). Bagaimana mungkin Dzat Allah menyatu dengan hati atau raga manusia?! Yang menyatu dengan hati dan menetap di dalamnya adalah keimanan kepada-Nya, menyakini kebenaran-Nya, mentauhidkan-Nya dan ma’rifah kepada-Nya. Sesungguhnya hati itu adalah makhluk, maka bagaimana mungkin Dzat Allah dan sifat-sifat-Nya akan bersatu dengan hati manusia yang notabene makhluk-Nya sendiri?! Allah maha Suci dari pada itu semua (as-Sarraj, al-Luma’…, h. 541-542). 


Dari pernyataan para ulama sufi di atas tentang akidah hulûl dan wahdah al-wujûd dapat kita tarik kesimpulan bahwa kedua akidah ini sama sekali bukan merupakan dasar akidah kaum sufi.

Penutup: 
Sama sesatnya dengan orang-orang berkayakinan hulul atau wahdah al-wujud adalah orang-orang yang berkeyakinan bahwa Allah bertempat di langit atau bertempat di atas arsy, karena bila demikian maka berarti Dia berada pada makhluk-Nya sendiri, Au'dzu Billah. 


Hindari dan waspadai keyakinan Wahhabi yang mengatakan Allah bertempat di langit, pada saat yang sama mereka juga mengatakan di arsy, di dua tempat heh!!! Yang mengherankan: Mereka yakin bahwa arsy dan langit makhluk Allah, tapi mereka mengatakan bahwa Allah bertempat pada keduanya, di mana akal mereka!!!!!! Hasbunallah.......

Selasa, 29 Desember 2015

PRESTARI DEMOKRASI YANG IRONI


Oleh : Sahru Romadon

Saat Socrates masih hilir-mudik secara fisik dan pikirannya mewarnai kehiduapan Yunani Abad ke-4 SM, politik diartikan sebagai wahana mewujudkan impian masyarakat yang damai dan sejahtera. Demokrasilah jalan mulus yang terentang panjang untuk mencapai impian.

Sejak mulanya, demokrasi memang diikhtiarkan sebagai jalan terbaik menuju masyarakat yang berdaya di semua segi kehidupan. kini, demokrasi tertumbuk jalan buntu ketika politik menyimpang dari hakikatnya yang sarat dengan nilai budaya, moral dan etika.

Tapi menggelitik di usia 70 tahun pasca kemerdekaan indonesia dan 16 tahun fase reformasi saat sekarang ini ada yang mengekspresikan/mengargumentasikan ketidak percayaan dengan kultur politk negri ini dengan nyeleneh seperti “Negri Setengah Demokrasi” atau saya sendiri mengatakan “Demokrasi Prosedural” dan kebanyakan orang pun mengamini pernyataan bukan tanpa alasan tersebut. Hari ini bisa kita cermati dari orientasi pelaku politik lebih didominasi tafsir politik dan ekonomi ketimbang sosio-kultural. Tafsir politik tergambar dari kentalnya relasi kekuasaan antar komponen kepentingan. Suara massa dibonceng rame-rame demi sepotong jabatan politik, di tingkat partai atau posisi publik lainnya.

Penggalangan massa pun masuk dalam ranah ekonomi, ada perniagaan yang berlangsung di sana. Relasi jual-beli ini mengondisikan harus baliknya modal yang telah ditanamkan ketimbang Visi kesejahteraan yang kelak mesti dibangun untuk semua. Visi kesejahteraan, yang mestinya ditegakkan dari himpunan suara yang digalang, menciut menjadi kemakmuran kelompok. Kesejahteraan sedikit orang itulah yang kelak melesakkan kepentingan-kepentingannya ke wilayah luas (public).

Situasi ini dipastikan serta-merta menjauhkan pelaku politik dari prilaku asketisme (memerangi kejahatan). individu yang masuk sarang kekuasaan pun segera menjauh dari sifat kesederhanaan, kejujuran dan kerelaan berkorban. padahal, perjuangan memberdayakan masyarakat justru membutuhkan sifat-sifat tersebut, sifat yang menzikirkan kebutuhan khalayak.

Prilaku yang larut dalam kepentingan pribadi dan kelompok mutlak kesulitan menyelami persoalan masyarakat luas. Kalau problem saja tak diselami, bagaimana masalah akan diidentifikasi dan rumusan solusi akan menjauh sejauh-jauhnya.
Instrument-instrumen politik, yang menegakkan diri pada ketidak beradaban itu hanya melahirkan upaya mengejar fasilitas dan previlese dari pada mengabdikan waktu dan pikirannya bagi orang banyak. Situasi ini sesungguhnya membalik jarum jam sejarah ketika demokrasi yang dicita-citakan malah ditafsir sesuai selera penghayatnya.

Ketika politik berubah menjadi urusan segelintir orang, pertaruhan yang dimainkan menjadi mengerikan. Jutaan manusia bisa dengan gampang digelombangkan nasibnya oleh kasak-kusuk satu-dua elit. Maka, ketika politik cuma menjadi papan catur pertarungan politisi tak bermarwah, harga yang tertera menjadi teramat mahal.

Hingar-bingar politik pada akhirnya cuma terjadi untuk soal-soal jangka pendek, sarat kepentingan dan berlumur tipu muslihat. Hingga demokrasi dijiwai sebagai seperangkat aturan bersama yang di pahami sampai bisa diakali tanpa menyalahi prosedur dan memang telah nampak kronis dinegeri tercinta ini, karna memang pilar-pilar kekuasaan yang harusnya menjadi penjaga idealisme demokrasi rakyat juga sudah berselingkuh, hingga menjelma sebagai benteng-benteng pelindung, yang muncul dari suatu produk politik sebagai komoditas. Sampai akhirnya apakah rakyat bangga hanya disuguhkan euforia hak demokrasi pasif baik Legislatif tingkat I, II ataupun Eksekutif dari Kabupaten, Provinsi sampai ke Nasional yang datang silih berganti dalam lima tahunan?  apakah rakyat juga yakin sudah benar-benar memiliki semangat demokrasi? kalau suaranya saja rela di gadaikan selama lima tahun dengan harga sangat murah.

Maka, konstruksi berfikir yang harus dibangunkan ketika barometer demokrasi itu terjadi dalam hajat lima tahunan, ada beberapa perbaikan sesegera mungkin pada alur simpul-simpul panggung pesta demokrasi itu sendiri. Dimulai dari mengadabkan para pelaksana,  peserta dan pemilih  pemilu sehingga muncul simbiosis rekruitmen kader bangsa yang  beradab.


Dan jauh dari pada itu semua, ditengah krisis kepercayaan pada pilar-pilar kekuasaan yang dikatakan sebagai trias politika oleh Jon Lock “Eksekutif, Legislatif dan Federatif” ataupun Montesquieu “Eksekutif, Legislatif Dan Yudikatif” dimana keduanya meletakkan sudut pandang pada pelaksana, pengawas dan pengadil, dengan segala komponen pendukung didalamnya yang belum mampu membawa semangat demokrasi semestinya. Maka kini, bagaimana mahasiswa/kelas intelektual mampu menjiwa untuk dapat memainkan peran pemikir dan mengkaryakan pemikiran dengan upaya penyadaran masyarakat luas agar dapat besama-sama secara aktif menjelma sebagai motor penggerak revitalisasi cita-cita demokrasi yang harus diselenggarakan dengan prosedur berkualitas sampai tercapainya subtansi demokrasi di negri kaya akan potensi tapi nampak ironi.       

ZOROASTRIANISME DAN BANGSA ARAB DI MASA ERA PRA ISLAM

      Pengetahuan yang mantap tentang berbagai tradisi agama di pra-Islam Jazirah Arab berkembang karena aktivitas arkeologi. Kita tahu tradisi Iran terutama iran kuno atau persia kuno dan pengaruh agama-agama sebelum islam yang muncul dan  terkenal di pusat-pusat utama peradaban di timur tengah   terutama di Saudi kini hingga, dari Bahrain ke Yaman telah memberikan fakta sejarah tersendiri yang bisa mengungkapkan bagaimana kondisi Arab pra islam . Sebagai contoh, selama era perang Bizantium-Sasania  banyak kaum kafir atau yang memusuhi muhammad  di mekkah mengejek Muhammad bahwa "Ahli Kitab," yaitu orang-orang Kristen dari Byzantium (Arab. Ahl al-Kitab min ar-Rum) telah dikalahkan oleh Persia dan dengan demikian mereka kemudian akan mengalahkan Muslim.
      
    Sejarawan Muslim dari Amol, Tabari juga menyatakan bahwa Muhammad itu tidak begitu menyukai Zoroastrian (Arab. Al-Majus, lit.'magi '), memenangkan pertempuran melawan apa yang ia dianggap sebagai "Ahli Kitab" (ahl Arab. al-Kitab). Sebagai tanggapan, tradisi Islam mengatakan bahwa wahyu telah dikirim yang memprediksi kemenangan bangsa romawi atas persia yang kemudian dikenal sebagai Sūraar-Rum (Qur'an, SūraXXX) yang dimana berisi prediksi kekalahan raja Sasania raja, Khosrow II (590-628 M) dan kemenangan Kaisar Heraclius (610-641 CE) (Tabari, 1999, 324). Dengan demikian, Qur'an merupakan sumber penting untuk mengukur dan sekaligus menggambarkan pandangan Muslim awal terhadap  panggung politik Iran-Bizantium yang sangat berpengaruh pada islam awal (Bowersock 2012, 62-63).

Surah Ar Ruum 2 - 4 

غُلِبَتِ الرُّومُ (2) فِي أَدْنَى الْأَرْضِ وَهُمْ مِنْ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُونَ (3) فِي بِضْعِ سِنِينَ لِلَّهِ الْأَمْرُ مِنْ قَبْلُ وَمِنْ بَعْدُ وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ (4) 

Telah dikalahkan bangsa Rumawi,(QS. 30:2)  di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang,(QS. 30:3) dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman,(QS. 30:4)
          
      Tapi perlu di ingat  bahwa Zoroastrianisme itu terus menjadi  yang terpenting di Semenanjung Arab. Ada Para Pemeluk Zoroastria pada periode pra-Islam di Saudi, mungkin di antara suku-suku Tamim di Yaman, dan kita tahu bahwa penganut Zoroaster juga tinggal di Bahrain dan juga oman (Friedmann 2003, 69). Di sana banyak dijumpai bukti arkeologis bekas kuil api seperti  di Bahrain yang kemudian diambil alih oleh Muslim di Hira (Morony 1986, 1110-1111). Ada suku-suku Arab di Hijaz yang condong ke aliran Mazdakite Zoroasterianisme pada masa Kobād I (488-496 dan 498-531 Masehi) dan  pada awal abad ke-6 (Kister1968, 143-144). Dengan demikian, orang-orang Arab tidak hanya memiliki kontak yang luas dengan Zoroasterianisme, tapi suku-suku tertentu tertarik dalam  dan memeluk Zoroasterianisme.namun seiring  Dengan penaklukan Muslim kepada beberapa wilayah di timur tengah dan meluasnya pengaruh islam membuat banyak penganut zoroaster memilih memeluk agama islam .

   
       Lebih lanjut mungkin hanya kegiatan arkeologislah   yang dapat membantu kita menemukan sisa-sisa struktur yang sakral dari era dimana banyak orang arab memeluk zoroastrianisme di Semenanjung Arab dan untuk mengarahkan kita ke lokasi penting dari Arab Zoroasterianisme Yang mungkin di masa depan. Baru-baru ini diidentifikasi sebagai kuburan "Sasanian" dari abad kelima atau lebih ditemukan di Sharjah di UAE (Kutterer et. Al., 2015, 43-54). Jadi, jika makam Persia yang ditemukan di Semenanjung Arab, struktur Zoroaster juga dapat ditemukan di sana. Tapi salah satu harus bertanya jika arsitektur suci Zoroaster adalah sama di Semenanjung Arab seperti yang di Dataran Tinggi Iran.lebih lanjut berikut adalah bukti dari hadis Berikut adalah salah satu seperti Hadis Sahih di mana Mohammad memberikan izin untuk Umar untuk mengumpulkan Jizya Pajak  dari Majusi [Para Pemeluk Zoroastria] dari Hajar, dalam bahasa Arab ... Sebuah indikasi yang jelas bahwa Zoroasterianisme tidak hanya diikuti di kekaisaran Persia, dan Iran yang hanya bagian dari itu ... tetapi juga di bagian Saudi yang berada di bawah pemerintahan otonom Mohammad yang islam. Lebih lanjut berikut isi hadisnya Abu Ubaid meriwayatkan hadits dalam kitab Al-Amwal dari Hasan bin Muhammad yang mengatakan : Nabi SAW pernah menukis surat kepada Majusi Hajar untuk mengajak mereka memeluk Islam, "Siapa saja yang memeluk Ilam sebelum ini, serta siapa saja yang tidak diambil jizyah atas dirinya, hendaknya sembelihannya tidak dimakan, dan kaum wanitanya tidak dinikahi. "

        Zoroastrianisme sendiri tak lenyap seluruhnya di Iran. Hingga kini, jumlah pengikutnya di Iran mencapai 20 ribu orang bahkan lebih diseluruh dunia penulis sendiri memeliki teman dari kalangan zoroastrianism di indonesia dan sering berdiskusi masalah teologi yang terkadang kalau kita membuka pintu dialog maka kita dapati bahwa banyak kekayaan ilmu yang selama ini tidak kita tahu . sebagai tambahan Dalam The Miracle 15 in 1 Syaamil Al-Qur’an disebutkan, Majusi adalah sebutan dalam Islam bagi penganut yang mengikuti agama Zoroaster (Zarathustra) dari Persia, Iran. Zarathustra merombak agama Indo-Eropa. Dewa-dewa diturunkan derajatnya menjadi sekadar malaikat, sementara Tuhan dianggap sebagai esa (satu), yakni Ahura Mazda.

Referensi

G.W. Bowersock, Empires in Collision in Late Antiquity, Brandeis, 2012

Y. Friedmann, Tolerance and Coercion in Islam: Interfaith Relations in the Muslim Tradition, Cambridge University Press, 2003.

J.M. Kister, “Al-Hīra, Some notes on its relations with Arabia,” Arabica  15 (1968): 143-169.

A. Kutterer, S.A. Jasim, E. Yousif, “Burried far from home: Sasanian graves at jebel al-Emeilah (Sharjah, UAE),” Arabian archaeology and epigraphy 26, 2015, pp. 43-54.
Morony, Michael G., “Madjus,” in Encyclopedia of Islam  5 (1986), 1110-1118.

Tabari, The History of al-Ṭabarī: The Sāsānids, the Byzantines, the Lakmids, and Yemen, translated by C.E. Bosworth, New York, State University of New York, 1999.



Kamis, 24 Desember 2015

KOREKSI DALAM MEMBACA SHALAWAT NABI








Bismillahirrahmaanirrahiim.
Ini adalah kajian sederhana, tidak rumit, tapi penting disampaikan.
Singkat kata, di masyarakat kita sering mendengar perkataan seputar Shalawat Nabi yang disampaikan para khatib, penceramah, dai, muballigh, moderator, MC, atau para penulis lewat tulisan-tulisan.
Dalam ucapan-ucapan Shalawat ini, KELIHATANNYA seperti BENAR, PADAHAL ada yang KELIRU, sehingga PERLU DIKOREKSI.
Shalawat Nabi sendiri di masyarakat kita rata-rata disampaikan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Arab.
Di antara bacaan itu ada yang sudah benar, tapi masih banyak yang keliru. Maka kita berbagi nasehat disini, untuk memperbaiki kekeliruan-kekeliruan yang ada, in syaa Allah.
Berikut ini beberapa bentuk kesalahan makna yang sering terjadi ketika membaca Shalawat Nabi :
[1]. Ada sebagian orang yang berkata: “Shalawat dan salam KITA PANJATKAN KEPADA Rasulullah Shallallah ‘Alaihi Wasallam, beserta keluarga, dan para Shahabatnya.”
KOREKSI: Kata-kata “kita panjatkan kepada” adalah kesalahan, sebab memanjatkan doa itu untuk Allah Subahanu Wa Ta’ala, bukan untuk selain-Nya. Kita tidak boleh berdoa kepada selain Allah, hatta itu kepada Nabi, Malaikat, maupun ulama besar. (Lihat Surat Al Mu’minuun: 117).
~~~~~~~~~~~~~
[2]. Ada sebagian yang lain berkata: “Shalawat dan salam KITA HATURKAN UNTUK Rasulullah Shallallah ‘Alaihi Wasallam, beserta keluarga, dan para Shahabatnya.”
KOREKSI: Kata-kata “kita haturkan untuk” atau “kita berikan untuk”, ini juga salah. Yang berhak memberi shalawat (sentosa) dan salam (selamat) kepada seseorang adalah Allah, bukan kita. Apalagi untuk memberi shalawat dan salam kepada Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam.
Kita tak punya kuasa apapun untuk memberi shalawat dan salam kepada orang lain, bahkan kepada diri kita sendiri. Lalu bagaimana bisa kita memberi shalawat dan salam untuk Rasulullah yang sudah wafat?
[3]. Ada lagi yang sering berkata -bahkan sangat sering- seperti ini: “Shalawat dan salam UNTUK JUNJUNGAN ALAM, Nabi Besar Muhammad Shallallah ‘Alaihi Wasallam, beserta keluarga, dan para Shahabatnya.”
KOREKSI: Kata-kata "untuk junjungan alam” ini keliru. Coba, kalau Anda ditanya, siapakah junjungan alam itu? Apakah Nabi Muhammad adalah junjungan alam? Bukan, beliau adalah hamba Allah dan Nabi-Nya.
Junjungan alam adalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Dalilnya adalah ayat dalam Surat Al Fatihah: “Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin” (segala puji bagi Allah selalu pemimpin, pemelihara, junjungan alam). Sebutan “junjungan alam” harus diubah; ia bisa diganti dengan kalimat: rahmat bagi seluruh alam. Karena ada ayat yang berbunyi: “Wa maa arsalnaka illa rahmatan lil ‘alamiin” [tidaklah Kami utus engkau (Muhammad) melainkan agar menjadi rahmat bagi seluruh alam].
[4]. Ada yang membaca: “Shallu wa sallim ‘ala Muhammad” (sentosa dan keselamatan semoga bagi Muhammad).
KOREKSI: Sebaiknya kalimat di atas diperbaiki dengan melibatkan Asma Allah di dalamnya, sehingga menjadi: “Allahumma shalli wa sallim ‘ala Nabiyina Muhammad, wa ‘ala alihi wa shahbih” (semoga Allah memberi sentosa dan selamat kepada Nabi Muhammad, keluarga, Shahabatnya). Dalilnya, para ulama kalau membaca Shalawat untuk Nabi mereka sering mengucap: Shallallah ‘Alaihi Wasallam. Disini selalu melibatkan Asma Allah, karena doa shalawat memang dipanjatkan kepada-Nya.
[5]. Ada juga yang membaca: “Allahumma shalli ‘ala sayyidina, wa syafi’ina, wa habibina, wa karimina, Muhammad, wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in” (ya Allah berikan sentosa kepada pemimpin kami, penolong kami, kekasih kami, orang yang mulia kami, yaitu Muhammad, beserta keluarga dan para shahabatnya).
KOREKSI: Sebutan Sayyidina masih ada perdebatan, sehingga tidak perlu dibahas disini.
Sebutan Syafi’ina (pemberi syafaat bagi kami), ini tidak tepat; sebab hakikat pemberi Syafaat adalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Dalilnya dalam Ayat Kursyi: “Man dzalladzi yasy-fa’u ‘indahu illa bi idznih” (dan siapa lagi yang bisa memberi syafa’at di sisi-Nya, jika tanpa izin-Nya).
Jadi pemberi syafaat bagi kaum Muslimin secara hakiki adalah Allah Ta’ala; kemudian Dia memberikan sebagian hak-Nya dalam hal ini (pemberian syafaat) kepada Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam.
Sebutan Habibina (kekasih kami); hal ini menuntut tanggung-jawab. Benarkah kita telah menjadikan Nabi sebagai kekasih kita? Jika benar, buktikan dengan komitmen mengikuti Sunnah-nya!
Sedangkan sebutan Karimina (orang yang mulia kami), sebenarnya sebutan ini sudah masuk ke dalam istilah Rasulina atau Nabiyyina; karena sebagai Nabi dan Rasul, kita pasti memuliakan beliau.
LALU BAGAIMANA CARA BACA SHALAWAT YANG LEBIH TEPAT ??
Contoh dalam versi bahasa Indonesia:
“Shalawat dan salam semoga Allah curahkan kepada Nabi kita, Muhammad, beserta keluarga dan para Shahabatnya.”
(Jadi Shalawat itu tetap ditujukan kepada Allah).
Contoh dalam versi bahasa Arab:
“Allahumma shalli wa sallim ‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in.”
(Disini kita memakai gelar Rasulullah di depan nama Muhammad; dan doa Shalawat ini tetap ditujukan kepada Allah).
Demikian beberapa koreksi seputar tata-cara membaca Shalawat Nabi yang berkembang di tengah masyarakat kita. Semoga kajian sederhana ini bermanfaat dan bisa diamalkan. Amin Allahumma amin. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.

Senin, 14 Desember 2015

ERA BARU IMM IAIN RADEN INTAN LAMPUNG

                                         (nanang nurhidayat tengah mantan ketua umum imm iain)


  “Ber IMM IAIN Raden Intan Lampung itu sederhana, tapi dengan kesederhanaannya ia mampu membuat kita semua bahagia” itulah kalimat yang di sampaikan Umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah IAIN Raden Intan Lampung, pada 12 Desember 2015, bertempat di komplek panti asuhan Muhammadiyah Sukarame, Bandar Lampung, pada pembukaan MUSYKOM (Musyawarah Komisariat) lalu, dengan mengusung tema “Melalui MUSYKOM kita tingkatkan soldaritas, spritualitas dan karakteristik kader Ikatan”  dengan  di bukanya MUSYKOM tahun ini oleh Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Bandar Lampung, berarti berakhirlah sudah massa kepemimpinan periode 2014-2015 yang di ketuai Oleh IMMawan Nur Hidayat dari fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung ini di harapkan dapat memberikan manfaat yang baik di kemudian hari,

   Satu tahun berlalu adalah waktu yang relatif sempit sehingga dengan waktu yang sangat terbatas tersebut Ia Beserta jajaran telah berusaha mengusahakan yang terbaik untuk terciptanya  stabilitas dan kemakmuran sua sembada kader di lingkungan IAIN Raden Intan Lampung, hal ini di  buktikan dengan jumlah rekapitulasi kegiatan yang telah pimpinan laksanakan sebanyak 99 kegiatan dan dengan di tutupnya MUSYKOM 2014-2015 tersebut genaplah 100 kali kegiatan yang telah pimpinan periiode 2014-2015 laksanakan, di antaranya ialah diskusi interakti bersma BEM STEBANK Mr.Sjafrudin Prawira Negara dan OKP yang ada di lingkungan IAIN Raden Intan Lampung bertempat di Gedung Dakwah Muhammadiayah Provinsi Lampung, hal ini tentunya menjadi prestasi dalam suatu Organisasi Kepemudaan yang pernah ia geluti sebagai pemimpin muda setingkat kampus. Apresiasi yang luar biasa juga di sampaikan oleh ketua cabang Ikatan Mahasiswa Muahammadiyah Kota Bandar Lampung bahwa Komisariat yang paling berhasil di Kota Bandar lampung tahun ini Ialah Komisarit IMM yang ada di IAIN Raden Intan Lampung sebagai penggawang utama masifnya suatu pergerakan di dunia kemahasiswaan.



    kontribusi Imm radin intan meskipun kelihatan kecil namun sudah memberikan dobrakan yang luar biasa pada dunia intelektual di IAIN radin intan khususnya dan kampus lain pada umumnya karena tidak jarang selama periode kepemimpinan sebelumnya IMM IAIN RADIN INTAN sudah mengadakan berbagai macam diskusi dan forum intelektual dimana mengundang mahasiswa dari lintas kampus dan lintas organisasi. denga berakhir periode sebelumnya tidak menjadikan IMM IAIN Raden intan lampung mati ataupun vakum karena hal ini dibuktikan dengan mengaktifkan 5 komisariat di 5 fakultas yang pastinya akan menjaring lebih banyak kader yang intelektual sekaligus militan. 
           



      Berikut daftar pengurus IMM KOMISARIAT IAIN yang dipecah 5 

pemimpin-pemimpin muda yang terpilih adalah:


1. Ketua Umum Koordinator Komisariat IAIN RIL  : kakanda Hari Saputra dengan sekretarisnya Ayunda Nuraini Nadhiroh

2. Ketua Komisariat Dakwah dan Informasi : kakanda Hgi Jlio Salas dan Sekretarisnya kakanda Yudi Trisno Wibowo

3. Ketua Komisariat FEBI dan Syariah : Ayunda Luthfiani Islami Sholeha dan sekretarisnya Gifta Alviana

4. Ketua Komisariat Tarbiyah dan Keguruan: kakanda M. Khirul Anam dan Sekretarisnya ayunda May Faridah

5. Ketua Komisariat Ushuluddin : ayunda Rafita Sari dan sekretarisnya ayunda Albadri Luthfiyani

   IMM RADIN INTAN LAMPUNG bisa lebih memasifkan gerakan intelektualitas kampus yang sekarang sedang dalam proses pematian karena timbulnya berbagai macam paham dari apatisme sampai hedonisme tugas imm selanjutnya untuk bagaimana bersinergi,berpikir, dan berkonsolidasi untuk membawa IMM radin intan lampung kedepannya berjalan tidak hanya pada tingkat lokal tapi nasional bahkan harapan besar adalah internasional. tidak mustahil jika disertai dengan konsistensi,intelektualitas, dan  religusitas.

   Semoga segala pengorbanan dan rasa lelah yang terjadi pada malam tadi mebuahkan hasil yang benar-benar medapatkan RIDHO ALLAH. Sehingga para pemimpin muda yang telah terpilih menjalankan amanah dengan  sebenar-benarnya berlandaskan AL-QURAN dan AS-SUNNAH. selain itu, terjalinnya ukhuwah yang erat semoga semakiin terasa hingga tidak bersekat sedikitpun jalinan kasih sayang yang terjadi antar saudara.

#IMMIAIN_RIL #MUSYKOMIMM_IAINRIL
#IMMUM_LAMPUNG #IMMBANDAR_LAMPUNG

LETS JOIN WITH US 

Jumat, 11 Desember 2015

TERIMA KASIH TERUNTUK MALAIKAT TAK BERSAYAP

Untuk ibu yang tidak pernah LELAH
Untuk ibu yang  cintanya tak pernah berakhir
Untuk ibu yang selalu sangat  peduli
Untuk ibu selalu memberi kehangatan  pada jiwa
Untuk ibu yang selalu membuat kita bahagia
Untuk ibu yang  membuat kita ebih baik daripada yang lain
Untuk ibu yang selalu memberikan pelukan terbaik  
Untuk ibu yang selalu mendoakan untuk yang terbaik
Mungkin tidak akan ada karya yang bisa mengambarkan apapun pemberiannya,kepeduliannya, dan pengorbannya
                 Terima kasih IBU...
untuk cinta, kekuatan, dan kepedulian yang indah dan berarti
yang kau hadirkan didunia ini
                           terima kasih ibu
untuk selalu ada disetiap waktu ketika anakmu terluka
mendengarkan cerita apapun dari anakmu meskipun
hal itu terburuk sekalipun
kau adalah psikolog dan motivator yang terbaik yang pernah ada didunia
                                terima kasih ibu
dengan kesabaranmu kau bimbing langkah pertamaku didunia
dengan kelembutan suaramu kau ajarkan bagaimana ku berbicara
kau adalah yang pertama mengajarkan makna hidup didunia
mengajarkan tentang arti sebuah pemberian
mengajarkan tentang  moral 
yang menjadikanku lebih  peduli sesama
dan tidak diam melihat sebuah penindasan dan pengkhianatan

                      terima kasih ibu
untuk waktu, tenaga, bahkan air mata yang tercurah
untuk setiap usahamu menjadikanku yang terbaik
namun
beribu maaf juga harus ucapkan padamu
maaf ketika aku tak selalu sesuai harapanmu
maaf ketika kata yang kau ajarkan justru ku pergenukan untuk menyakitimu
maaf ketika  cara berjalan yang kau ajakarkan ku pergenukan untuk menjauhimu
maaf ketika cinta  yang terdalam yang kau beri ku abaikan demi sebuah cinta ego
maaf ketika waktu yang kau habiskan ku balas dengan sikap acuhku disaat kau membutuhkan
maaf ketika rasa rindumu kuabaikan demi hasratku mengejar kepalsuan dunia
maaf ketika  pemberianmu kubalas dengan caci maki tak tak tahu diri
Maaf ketika keadilan yang kau ajarkan kuberikan kubalas dengan ketidakadilan
                    namun seribu kesalahku kau balaskan dengan doa terbaikmu
karena hatimu yang begitu suci untuk tak tega
membiarkan anakmu mendapatkan penghakiman tuhan
                      
                 Terima kasih IBU,
Untuk segala sesuatu yang telah anda  lakukan,
Terima kasih IBU,
Untuk membuat setiap hari begitu menyenangkan
Terima kasih IBU,
Untuk memberikan segala bekal terbaik untuk perjalanan hidupku ,
Terima kasih IBU,
Untuk tersenyum setiap hari memberi semangat meskipun lelah .
                      
Terima kasih IBU,
Karena selalu ada,
Terima kasih IBU,
Untuk menunjukkan begitu banyak kepedulian

Terima kasih IBU,
Kau yang terbaik,
Terima kasih IBU,
Karena kau tidak seperti yang lainnya.

Jadi hari ini begitu istimewa,
Karena kau begitu istimewa juga,
Hanya ingat satu hal,
Bahwa aku mencintaimu. Dan akan
Melakukan yang terbaik yang kau ajarkan

                      
                

          
                

                    

                  

Selasa, 08 Desember 2015

Building Your Inner Peace on a Chaotic World (Original)

         


     As Buddha says, "Happiness does not depend on what you have or who you are. It solely relies on what you think." These words absolutely hit me home. It reminded me of one of the most nerve-wracking moment of my life. I grew up in a chaotic family. There were fight and tears everyday at my childhood home. However, the worst of all was my father. He had a mentally and emotionally abusive behavior. It was so obvious that he had a lot of rage bottled up inside and it oozed up whenever he wished. His sayings were so heartbreaking. Because of his temper, I had to work so hard to do my best at school. Nonetheless, he was not pleased. He was still negative. His temper has been tampering my inner peace of hearts and minds. As a result, I was stressed out, had negative thoughts, away from peace, and had a low level of self-esteem.

       Years went by, my silver linings came by. I realized to just let him be. Later on, I learnt that his abusive manner was all caused by unresolved issues he had. His abusive manner was a wake-up call for me to work on my inner peace. I figured out that I could get my own peace by just stop thinking negatively about anything. I let myself to feel and immersed into the present. After such a long time, my inner piece I built for my hearts and minds came fruitful. I become happy and oozing a beatifically presence to everyone I meet. I also start doing good things for me and my community. The peace helps me to be a better person on a chaotic world.

You might wonder this question, "What does building inner peace of hearts and souls mean for all of us?" From my experience, I could tell that by building your inner peace means you release all of the negativity in your head. As a result, you are becoming a brand new and positive person.



Being peaceful in hearts and minds also means that we successfully practice mindfulness. By being mindful, you live and accept every sensation happening in the present. You are aware that the more you think negatively, the more you lose your sense of peace. Moreover, you will keep your peace.

By being building your peace in hearts and minds it also means that you contribute to society. You contribute for better condition of people's life. By contributing to your community, you will see different things happening from every angle. You will meet people of every walk of life. It will open your mind, stop your biased preconceived notions, and make you compassionate of other people. Finally it gives you peace because you can share your pain and make it a priceless lesson for anyone who might hear your story.

By constructing your peace from scratch, you are able to learn and grow as an individual that has loving attitude, high empathy and compassion which is good for the world. The world gets more chaotic because of lacking of peace inside of the hearts and minds. Once we feel peaceful, we would be able to contribute the world our piece of peace that we have been working on. We would preach the world that by working on your peace helps you to resolve your unfinished issues. Moreover, we will get better on everything we do because we become more careful on doing something. Therefore, we also will transform this sad and chaotic world to be a friendlier place for creating better environment of every aspect of living creature's life. We will get our problem solved by having peace in mind. We will stop acting foolish because we are settled to think peacefully and carefully.

As we can conclude that we have to let go of everything out of our control, go on mindfulness-mode, and give the world contribution from our peace. The most important is that by building your peace in your hearts and minds, you contribute for the creation of better world. My last words for you would be: "Let it go and be peaceful."

Reference

My own experience
My own drawing (for the illustrations)