Oleh : Sahru Romadon
Saat Socrates masih
hilir-mudik secara fisik dan pikirannya mewarnai kehiduapan Yunani Abad ke-4 SM, politik diartikan sebagai wahana mewujudkan
impian masyarakat yang damai dan sejahtera. Demokrasilah jalan mulus yang
terentang panjang untuk mencapai impian.
Sejak mulanya, demokrasi memang diikhtiarkan
sebagai jalan terbaik menuju masyarakat yang berdaya di semua segi kehidupan.
kini, demokrasi tertumbuk jalan buntu ketika politik menyimpang dari hakikatnya
yang sarat dengan nilai budaya, moral dan etika.
Tapi menggelitik di usia 70 tahun pasca
kemerdekaan indonesia dan 16 tahun fase reformasi saat sekarang ini ada yang mengekspresikan/mengargumentasikan
ketidak percayaan dengan kultur politk negri ini dengan nyeleneh seperti “Negri
Setengah Demokrasi” atau saya sendiri mengatakan “Demokrasi Prosedural” dan
kebanyakan orang pun mengamini pernyataan bukan tanpa alasan tersebut. Hari ini
bisa kita cermati dari orientasi pelaku politik lebih didominasi tafsir politik
dan ekonomi ketimbang sosio-kultural. Tafsir politik tergambar dari kentalnya
relasi kekuasaan antar komponen kepentingan. Suara massa dibonceng rame-rame
demi sepotong jabatan politik, di tingkat partai atau posisi publik lainnya.
Penggalangan massa pun masuk dalam ranah
ekonomi, ada perniagaan yang berlangsung di sana. Relasi jual-beli ini
mengondisikan harus baliknya modal yang telah ditanamkan ketimbang Visi kesejahteraan
yang kelak mesti dibangun untuk semua. Visi kesejahteraan, yang mestinya
ditegakkan dari himpunan suara yang digalang, menciut menjadi kemakmuran
kelompok. Kesejahteraan sedikit orang itulah yang kelak melesakkan kepentingan-kepentingannya
ke wilayah luas (public).
Situasi ini dipastikan serta-merta menjauhkan
pelaku politik dari prilaku asketisme
(memerangi kejahatan). individu yang masuk sarang
kekuasaan pun segera menjauh dari sifat kesederhanaan, kejujuran dan kerelaan
berkorban. padahal, perjuangan memberdayakan masyarakat justru membutuhkan
sifat-sifat tersebut, sifat yang menzikirkan kebutuhan khalayak.
Prilaku yang larut dalam kepentingan pribadi
dan kelompok mutlak kesulitan menyelami persoalan masyarakat luas. Kalau
problem saja tak diselami, bagaimana masalah akan diidentifikasi dan rumusan
solusi akan menjauh sejauh-jauhnya.
Instrument-instrumen politik, yang menegakkan
diri pada ketidak beradaban itu hanya melahirkan upaya mengejar fasilitas dan
previlese dari pada mengabdikan waktu dan pikirannya bagi orang banyak. Situasi
ini sesungguhnya membalik jarum jam sejarah ketika demokrasi yang
dicita-citakan malah ditafsir sesuai selera penghayatnya.
Ketika politik berubah menjadi urusan
segelintir orang, pertaruhan yang dimainkan menjadi mengerikan. Jutaan manusia
bisa dengan gampang digelombangkan nasibnya oleh kasak-kusuk satu-dua elit. Maka,
ketika politik cuma menjadi papan catur pertarungan politisi tak bermarwah,
harga yang tertera menjadi teramat mahal.
Hingar-bingar politik pada akhirnya cuma terjadi
untuk soal-soal jangka pendek, sarat kepentingan dan berlumur tipu muslihat.
Hingga demokrasi dijiwai sebagai seperangkat aturan bersama yang di pahami
sampai bisa diakali tanpa menyalahi prosedur dan memang telah nampak kronis
dinegeri tercinta ini, karna memang pilar-pilar kekuasaan yang harusnya menjadi
penjaga idealisme demokrasi rakyat juga sudah berselingkuh, hingga menjelma
sebagai benteng-benteng pelindung, yang muncul dari suatu produk politik
sebagai komoditas. Sampai akhirnya
apakah rakyat bangga hanya disuguhkan euforia hak demokrasi pasif baik
Legislatif tingkat I, II ataupun Eksekutif dari
Kabupaten, Provinsi sampai ke Nasional yang datang silih berganti dalam
lima tahunan? apakah rakyat juga yakin
sudah benar-benar memiliki semangat demokrasi? kalau suaranya saja rela di
gadaikan selama lima tahun dengan harga sangat murah.
Maka, konstruksi berfikir yang harus dibangunkan ketika
barometer demokrasi itu terjadi dalam hajat lima tahunan, ada beberapa
perbaikan sesegera mungkin pada alur simpul-simpul panggung pesta demokrasi itu
sendiri. Dimulai dari mengadabkan para pelaksana, peserta dan pemilih pemilu sehingga muncul simbiosis rekruitmen
kader bangsa yang beradab.
Dan jauh dari pada itu semua, ditengah krisis kepercayaan pada
pilar-pilar kekuasaan yang dikatakan sebagai trias politika oleh Jon Lock
“Eksekutif, Legislatif dan Federatif” ataupun Montesquieu “Eksekutif,
Legislatif Dan Yudikatif” dimana keduanya meletakkan sudut pandang pada
pelaksana, pengawas dan pengadil, dengan
segala komponen pendukung didalamnya yang belum mampu membawa semangat
demokrasi semestinya. Maka kini, bagaimana mahasiswa/kelas intelektual mampu
menjiwa untuk dapat memainkan peran pemikir dan mengkaryakan pemikiran dengan upaya
penyadaran masyarakat luas agar dapat besama-sama secara aktif menjelma sebagai
motor penggerak revitalisasi cita-cita demokrasi yang harus diselenggarakan
dengan prosedur berkualitas sampai tercapainya subtansi demokrasi di negri kaya
akan potensi tapi nampak ironi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar