Selasa, 29 Desember 2015

PRESTARI DEMOKRASI YANG IRONI


Oleh : Sahru Romadon

Saat Socrates masih hilir-mudik secara fisik dan pikirannya mewarnai kehiduapan Yunani Abad ke-4 SM, politik diartikan sebagai wahana mewujudkan impian masyarakat yang damai dan sejahtera. Demokrasilah jalan mulus yang terentang panjang untuk mencapai impian.

Sejak mulanya, demokrasi memang diikhtiarkan sebagai jalan terbaik menuju masyarakat yang berdaya di semua segi kehidupan. kini, demokrasi tertumbuk jalan buntu ketika politik menyimpang dari hakikatnya yang sarat dengan nilai budaya, moral dan etika.

Tapi menggelitik di usia 70 tahun pasca kemerdekaan indonesia dan 16 tahun fase reformasi saat sekarang ini ada yang mengekspresikan/mengargumentasikan ketidak percayaan dengan kultur politk negri ini dengan nyeleneh seperti “Negri Setengah Demokrasi” atau saya sendiri mengatakan “Demokrasi Prosedural” dan kebanyakan orang pun mengamini pernyataan bukan tanpa alasan tersebut. Hari ini bisa kita cermati dari orientasi pelaku politik lebih didominasi tafsir politik dan ekonomi ketimbang sosio-kultural. Tafsir politik tergambar dari kentalnya relasi kekuasaan antar komponen kepentingan. Suara massa dibonceng rame-rame demi sepotong jabatan politik, di tingkat partai atau posisi publik lainnya.

Penggalangan massa pun masuk dalam ranah ekonomi, ada perniagaan yang berlangsung di sana. Relasi jual-beli ini mengondisikan harus baliknya modal yang telah ditanamkan ketimbang Visi kesejahteraan yang kelak mesti dibangun untuk semua. Visi kesejahteraan, yang mestinya ditegakkan dari himpunan suara yang digalang, menciut menjadi kemakmuran kelompok. Kesejahteraan sedikit orang itulah yang kelak melesakkan kepentingan-kepentingannya ke wilayah luas (public).

Situasi ini dipastikan serta-merta menjauhkan pelaku politik dari prilaku asketisme (memerangi kejahatan). individu yang masuk sarang kekuasaan pun segera menjauh dari sifat kesederhanaan, kejujuran dan kerelaan berkorban. padahal, perjuangan memberdayakan masyarakat justru membutuhkan sifat-sifat tersebut, sifat yang menzikirkan kebutuhan khalayak.

Prilaku yang larut dalam kepentingan pribadi dan kelompok mutlak kesulitan menyelami persoalan masyarakat luas. Kalau problem saja tak diselami, bagaimana masalah akan diidentifikasi dan rumusan solusi akan menjauh sejauh-jauhnya.
Instrument-instrumen politik, yang menegakkan diri pada ketidak beradaban itu hanya melahirkan upaya mengejar fasilitas dan previlese dari pada mengabdikan waktu dan pikirannya bagi orang banyak. Situasi ini sesungguhnya membalik jarum jam sejarah ketika demokrasi yang dicita-citakan malah ditafsir sesuai selera penghayatnya.

Ketika politik berubah menjadi urusan segelintir orang, pertaruhan yang dimainkan menjadi mengerikan. Jutaan manusia bisa dengan gampang digelombangkan nasibnya oleh kasak-kusuk satu-dua elit. Maka, ketika politik cuma menjadi papan catur pertarungan politisi tak bermarwah, harga yang tertera menjadi teramat mahal.

Hingar-bingar politik pada akhirnya cuma terjadi untuk soal-soal jangka pendek, sarat kepentingan dan berlumur tipu muslihat. Hingga demokrasi dijiwai sebagai seperangkat aturan bersama yang di pahami sampai bisa diakali tanpa menyalahi prosedur dan memang telah nampak kronis dinegeri tercinta ini, karna memang pilar-pilar kekuasaan yang harusnya menjadi penjaga idealisme demokrasi rakyat juga sudah berselingkuh, hingga menjelma sebagai benteng-benteng pelindung, yang muncul dari suatu produk politik sebagai komoditas. Sampai akhirnya apakah rakyat bangga hanya disuguhkan euforia hak demokrasi pasif baik Legislatif tingkat I, II ataupun Eksekutif dari Kabupaten, Provinsi sampai ke Nasional yang datang silih berganti dalam lima tahunan?  apakah rakyat juga yakin sudah benar-benar memiliki semangat demokrasi? kalau suaranya saja rela di gadaikan selama lima tahun dengan harga sangat murah.

Maka, konstruksi berfikir yang harus dibangunkan ketika barometer demokrasi itu terjadi dalam hajat lima tahunan, ada beberapa perbaikan sesegera mungkin pada alur simpul-simpul panggung pesta demokrasi itu sendiri. Dimulai dari mengadabkan para pelaksana,  peserta dan pemilih  pemilu sehingga muncul simbiosis rekruitmen kader bangsa yang  beradab.


Dan jauh dari pada itu semua, ditengah krisis kepercayaan pada pilar-pilar kekuasaan yang dikatakan sebagai trias politika oleh Jon Lock “Eksekutif, Legislatif dan Federatif” ataupun Montesquieu “Eksekutif, Legislatif Dan Yudikatif” dimana keduanya meletakkan sudut pandang pada pelaksana, pengawas dan pengadil, dengan segala komponen pendukung didalamnya yang belum mampu membawa semangat demokrasi semestinya. Maka kini, bagaimana mahasiswa/kelas intelektual mampu menjiwa untuk dapat memainkan peran pemikir dan mengkaryakan pemikiran dengan upaya penyadaran masyarakat luas agar dapat besama-sama secara aktif menjelma sebagai motor penggerak revitalisasi cita-cita demokrasi yang harus diselenggarakan dengan prosedur berkualitas sampai tercapainya subtansi demokrasi di negri kaya akan potensi tapi nampak ironi.       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar