Selasa, 08 Desember 2015

Being a good ethical reasoner

Plato was Wrong (about this at least): Being a Good Ethical Reasoner.

All of us reason about ethical matters all of the time. We do so when we decide whether to tell the shopkeeper he has given us too much change; when we assess a political argument about whether our country should offer health care to non-citizens; when we decide whether to tell a small (or large) lie, and so on.

What does good ethical reasoning about such matters involve? Mainly, just good logical and critical thinking skills focussed on ethical issues.

Good ethical reasoning calls upon us to give reasons for doing and believing things, to construct arguments – for vegetarianism or the legalization of euthanasia for instance – and to assess the arguments of those with whom we agree or disagree. This is not to say that I must articulate a complex moral theory or even identify a moral principle that I am following. Recognising the need for reasons and arguments, however, allows us to see that some responses won’t do.

I cannot offer mere prejudices in support of a moral position, for instance, because a mere prejudice is precisely a belief that is not supported by reasons.
Similarly, mere emotional reactions will not count as reasons. If all I can say in support of my claim that business is wicked is that business disgusts me or makes me furious, I am not offering a reason that would show my position to be an ethical position. (This is not to say that ethical positions should be unemotional or dispassionate. On the contrary, we should care about our moral views. But emotional reactions should be prompted by or grounded in moral judgments and not vice versa.)
And if my position is based upon propositions of fact which are not only false but so implausible that they fail even the minimal standards of evidence I impose upon others, I will likely not be offering reasons but instead showing that I can think of no genuine reasons for my position at all.
Prejudices, purely emotional responses, and empirically implausible positions are not the only sorts of reasons that are unacceptable in moral discourse – blind appeals to authority may well go on the list as well – but they will be enough to give a sense of the constraints posed by the requirement for reason giving.

Once we have allowed a place for reasons in moral discourse we can see that there will be other, more general, restraints as well. Perhaps most importantly, the role of reasons imposes a constraint of consistency. Consistency requires that if there are exactly the same reasons in support of one course of action as there are in support of another, then those actions will be equally right or equally wrong – they will be equally well supported or undercut by reasons. If I object to racism on the grounds that ‘all people are equal’ then I must also object to those manifestations of other prejudices, such as sexism, that deny that principle: If I do not then it will seem that in one or other or both of the cases I am not really accepting ‘all people are equal’ as a reason at all. My position will not in fact be based on the reason or reasons I cite.

Recognizing the role of reasons and reasoning in ethics allows us to give an account of good ethical reasoning.  Good ethical reasoners must be able to reason logically, to avoid fallacies and inconsistencies, to clarify and analyze concepts, to construct and assess arguments and positions.

They require a certain body of knowledge, knowledge of the assumptions, consequences, and criticisms of different positions or views; knowledge of types of arguments, and likely problems (e.g., fallacies like false dichotomy or ambiguity of scope).

They must be committed to certain values associated with good reasoning, such as commitment to understanding issues and views, commitment to reasoned support and evaluation of beliefs or claims, willingness to question key assumptions and challenge received wisdom, and interest in finding solutions to philosophical questions and problems.

These values are a significant part of the good ethical reasoner’s arsenal because they amount to a commitment to apply the reasoning skills noted above. Being able to recognize fallacies and inconsistencies will be of no value to the person reasoning about ethical matters if she is not prepared to follow those skills where they lead.

And good ethical reasoners must be well informed about the relevant facts of the cases they consider. They must have enough knowledge of the subject area and the case at hand to appreciate the demands and problems that are either peculiar to or commonly encountered in that area.

In sum, good ethical reasoners are people who are skilled at a certain form of reasoning, who have at their fingertips a body of relevant knowledge, and who are committed to using their skills and knowledge.

Note that there is nothing in this characterisation to suggest that the good ethical reasoner has unique access to the moral truth. Plato argued that philosophers should rule because they had ‘‘the capacity to grasp the eternal and immutable . . . to which they can turn, as a painter turns to his model, before laying down rules in this world about what is admirable or right or good”, but no one has thought so since!

The good ethical reasoner sketched above is a more mundane character. Recognising the way in which moral positions depend upon reasoned support, she is skilled in constructing and assessing such support. Her skill and contribution does not depend upon her grasp of anything like ‘eternal and immutable moral truths.’ Rather, it is grounded in more accessible standards of reason and argumentation, standards of the sort one might learn in a course on logic and critical thinking.

Senin, 07 Desember 2015

Apa yang dimaksud pemikiran logis dan kritis?

       
      Kita terus-menerus memberikan alasan untuk segala hal yang kita lakukan  dan percaya akan hal yang kita lakukan : untuk percaya bahwa kita harus membeli produk ini , mendukung suatu penyebab ini dan itu , menerima pekerjaan ini dan itu , menilai seseorang tidak bersalah atau bersalah, ,dan sebagainya. Menilai alasan kita diberikan untuk melakukan atau percaya hal-hal ini menyerukan kepada kita untuk berpikir kritis dan logis. Mungkin mengejutkan, bagaimanapun, orang tidak pandai berpikir logis dan kritis. Tidak peduli seberapa pintar atau berpendidikan kita, atau apa yang berjalan  dalam hidup kita  kita semua selalu mudah disesatkan oleh hambatan psikologis umum yang disebut kekeliruan penasaran. 

        Dalam artkel singkat ini saya akan menjelaskan beberapa hambatan yang kadang menimbulkan kekeliruan penalaran:
-           Bias konfirmasi - ketika kita cenderung untuk hanya mempertimbangkan kejadian yang sedang kita alami.

-          Heuristik –jalan pintas mental untuk mengambil suatu keputusan 

-          framing terdiri satu set konsep dan perspektif teoritis tentang bagaimana individu, kelompok, dan masyarakat mengatur, memahami, dan berkomunikasi tentang realitas. Framing melibatkan konstruksi sosial dari fenomena sosial - oleh sumber media massa, gerakan politik atau sosial, pemimpin politik, atau aktor dan organisasi lainnya.

-         Kekeliruan umum (common fallacies) - beberapa cara umum kesalahan penalaran yang kita anggap sebagai kebenaran hanya karena banyak yang bilang itu benar 
           

REGENERASI POLITISI HANDAL DARI KAMPUS


Dunia politik di Indonesia cenderung kotor dan jahat, karena sering menghalalkan semua cara untuk medapatkan kekuasaan. Dan cermin perpolitikan di negeri ini sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari pola politik yang terjadi di dunia kampus, karena rata-rata politikus nasional saat ini adalah mereka yang sebelumnya aktif berpolitik di kampus. Pentingnya belajar berpolitik dikampus dengan alasan bahwa politik kampus sangat menentukan baik dan buruknya perpolitikan di Indonesia karena kampus merupakan tempat persemaian politisi muda yang nantinya akan menjadi generasi penerus perjuangan bangsa ini.

Dinamika perpolitikan yang terjadi di lingkungan kampus memang menarik untuk dijadikan bahan kajian. Konflik dan persaingan yang sering muncul diantara mahasiswa, justru menjadi nilai penting sebagai sarana pendewasaan mahasiswa dalam berpolitik, baik sewaktu masih menjadi mahasiswa maupun setelah lulus. Sistem politik yang dijalankan di kampus memang tidak sekompleks sistem politik yang berjalan di negeri ini, akan tetapi setidaknya politik yang diterapkan mahasiswa dapat dijadikan cermin bagaimana perpolitikan bangsa Indonesia.  

Yang menjadi perbedaan secara fundamental (mendasar) antara politik kampus dengan politik yang dijalankan oleh politikus negeri ini adalah soal orientasi (tujuan). Jika politikus negeri ini berpolitik untuk mendapatkan kekayaan dan kekuasaan.  Sedangkan politik kampus dilaksanakan lebih sebagai sarana untuk mewujudkan eksistensi dan aktualisasi dari mahasiswa. Selain itu politik kampus lebih dijadikan sebagai wahana pembelajaran bagi mahasiswa untuk mengenal lebih dalam mengenai dunia perpolitikan.

Kampus merupakan lahan subur yang sangat penting untuk melakukan pengkaderan, terutama dalam bidang politik. Mengingat mahasiswa merupakan golongan intelek yang memiliki potensi keilmuan, wawasan, serta pengalaman yang cukup baik dalam masalah politik. Mahasiswa yang teguh memegang idealismenya biasanya akan menjalankan politik kampus dengan penuh rasa tanggungjawab, bahkan setelah lulus dan menjadi seorang politikus mahasiswa tersebut tetap akan berpolitik dengan membawa visi kerakyatan.

Hal inilah yang sesungguhnya diharapkan oleh masyarakat Indonesia, dimana akan lahir politiukus muda yang berasal dari seoarang mahasiswa yang selalu akan menyuarakan aspirasi dan membela kepentingan rakyat. Idealisme yang dimiliki saat menjadi mahasiswa diharapkan akan tetap dibawa sampai mahasiswa yang bersangkutan menjadi seorang pejabat, baik tingkat lokal, regional dan bahkan nasional. Apalagi bagi mereka yang menyadari bahwa jati diri sebagai agent of social change (agen perubahan sosial) tetap akan melekat dalam dirinya hingga akhir hayat. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, apakah praktek politik yang dilakukan mahasiswa di kampus benar-benar mencerminkan integritas kaum intelektual tersebut kepada rakyat? 

Jika politik kampus dapat dijadikan sebagai wahana pembelajaran mahasiswa dalam pendewasan diri dalam berpolitik serta demi kepentingan rakyat maka hal tersebut patut untuk didukung. Akan tetapi jika politik kampus hanya dijadikan sebagai batu loncatan mahasiswa untuk menjadi politikus nasional, dan untuk meraih kekuasan serta materi semata, maka hal tersebut bisa menciderai visi kerakyatan yang selalu diemban oleh mahasiswa. Oleh sebab itulah, langkah tersebut tidak patut ditiru.

Dalam dunia mahasiswa, politik kampus merupakan sarana efektif bagi mahasiswa untuk mengaktualisasikan diri serta menunjukkan eksistensinya ke dalam lingkungan kampus secara umum. Politik kampus juga dapat memberikan manfaat bagi mahasiswa, karena dengan adanya media tersebut mahasiswa dapat memiliki fungsi dan peran yang jelas dalam setiap gerakannya. Selain itu, politik kampus sesungguhnya merupakan media pengkaderan pergerakan mahasiswa yang bertujuan untuk mencetak kader yang tangguh.

 Satu hal yang patut diapresiasi dari praktek politik kampus, yaitu mahasiswa tetap teguh memegang idealismenya. Berpolitik merupakan hal yang sangat manusiawi dan wajar, begitu juga bagi mahasiswa. Yang terpenting adalah dalam berpolitik harus tetap memegang teguh etika, moral, nilai-nilai dan aturan yang berlaku. Karena hanya dengan hal inilah akan dapat terlaksana perpolitikan yang benar-benar jujur dan bersih.

Mahatma Ghandi pernah mengatakan bahwa setiap tujuan yang ingin dicapai harus selaras dan seimbang dengan metode dan tata cara yang dilakukan. Mustahil hasil dari tujuan dinilai baik jika metode yang digunakan adalah dengan jalan yang buruk. Mungkin itulah yang dimaksud dengan politik yang ”bersih”. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Plato bahwa politik adalah seni mempengaruhi orang lain dengan kecerdikan dan kecerdasan, bukan dengan keculasan dan kebohongan serta cara-cara keji yang menghalalkan segala macam aturan demi meraih keinginanya.

penulis : Sahru Romadon ketua umum pc imm kota Bandar Lampung dan Penggagas forum faskho 

Sabtu, 05 Desember 2015

MEMAHAMI ISMAEL DARI KAJIAN YAHUDI

     

      Membaca teologi yang membahas soal yahudi-kristen-dan islam dari sudut pandang yang sangat analitis karena dengan memahami dari sudut pandang analiti kita bisa lebih tahu secara dalam sebuah keimanan yang bukan hanya terbatas pada ritual tapi intelektual  selalu menarik didalam referensi judeo-rabinik sebagai intelektual yang belajar berbagai kajian teologi dari berbagai sudut pandang suatu hal yang menarik ketika membaca litelatur yahudi awal menyatakan bahwa  Tuhan membuat dua belas anak Ismail sebagai dua belas pemimpin / pemuka (shneim 'asar Nesīim, Kejadian 17:20), tetapi Tuhan tidak pernah membuat dua belas orang Israel (Yakub) sebagai Nesīim (pangeran), hanya dari keturunan mereka yang akan dipanggil Nesīei Yisrael shneim 'asar (dua belas pemimpin Israel, Nomor 1:44), seorang pria dari setiap suku, setiap kepala rumah nenek moyangnya; seperti Elizur dari Ruben, Selumiel Simeon, Nahashon Yehuda, Netaneel Isakhar, Eliab Zebulon, Elisama dan Gamaliel Yusuf, Abidan Benyamin, Ahiezer Dan, Pagiel Asyer, Elyasaf Gad, dan Ahira Naftali (Nomor 1: 4-16). Lihat ini kode numerik Semit dari  Pemimpin Israel dan Ismael.

Pemimpin Israel
1. Elizur
2. Selumiel
3. Nahason
4. Netaneel
5. Eliab
6. Elisama '
7. Gamelīel
8. Abidan
9. Ahī'ezer
10. Pag'īel.
11. Elyāsāf
12. Ahira

Pemimpin ismaelit
1. Nebayot (נְבָיות)
2. Qedar (קֵדָר)
3. Adbeel (אַדְבְאֵל)
4. Mibsam (מִבְשָׂם)
5. Mishma '(מִשְׁמָע)
6. Duma (דוּמָה)
7. Massa (מַשָׂא)
8. Hadad (חֲדַד)
9. Teima (תֵימָא)
10. Yethur
11. Nafīsh (נָפִישׁ)
12. Qedmāh (קֵדְמָה)

         Hayim Shachter, seorang sarjana Yahudi Sephardic mengatakan bahwa kata-kata Ibrani modern (dikenal sebagai bahasa Ivrīt), seperti nasi atau Nesi (presiden), Nesīūt (presiden / presidium), dan Nissa (tinggi, tinggi, mulia) yang berasal dari sama batang, NASA yang berarti 'untuk menyenangkan seseorang, atau' untuk meningkatkan suara seseorang '. [1] Lainnya, baik sarjana Kristen Barat, William F. Arndt dan F. Wilbur Gingrich juga mengatakan bahwa kata-kata Ibrani Masoretik, Nesi (pangeran) , Nesīei atau Nesīim (pangeran) yang berasal dari akar yang sama, NASA (membangkitkan).

        Kemudian, kata-kata ini merujuk pada 'satu mulia', yaitu penguasa, raja, atau kepala yang memerintah orang, demikian juga kata-kata Melekh (raja), Malkhan kami Melakhīm (raja) yang secara etimologis berasal dari akar yang sama, malakh ('memerintah', 'untuk memimpin', dan 'memerintah'). [2] Hal ini menunjukkan bahwa kata-kata bahasa Ibrani memiliki referensi umum, yaitu orang yang memerintah masyarakat, yaitu 'Pemimpin' dari suku atau bangsa. Penulis berpikir bahwa itu benar secara semantik jika kata Ibrani, Nesi secara harfiah diterjemahkan sebagai 'Penguasa', atau 'Pemimpin', seperti Nesi ha-ummah (pemimpin bangsa), yang ummotam Nesīim (Pimpinan negara), Nesi ha-shebeth (Pemimpin suku), dan Nesīim shebetīm (Pemimpin suku). Menariknya, Quran juga menegaskan bahwa Abraham adalah seorang Imam ('Leader'), dan kata ini Arab, imam (pemimpin) memiliki serupa semantik dengan kata Ibrani, Nesi (Leader).

وإذ ابتلى إبرهم ربه بكلمة فأتمهن قال إني جاعلك للناس إماما قال ومن ذريتي قال لا ينال عهدى الظلمين.
سورة البقرة ۲׃۱۲۴

Wa izdibtalā Ibrāhīm Rabbuhū bi-kalimātin fa atammahunna qāla inni jā’iluka lin-nāsi Imāma, qāla wa min dzurriyyatī qāla lā yanālu ‘ahdiy al-dhālimīna. (Arabic Quran, al-Baqarah 2:124).

וכאשר ניסה אלוהים אד אברהם בדברים ועמד בהם עד תום, אמר הווי שמך נשיא ל אמתם - אנושים, אמר ומזרעי, אמר אין בריתי משגת את המריעים. אל-בקרה ב:קבד

Ve ka-asher nisah Elohim et Avraham be-devarīm ve emed behem ‘ed tom, amar hinnenī shemekha Nesī le-ummotam (enosīm), amar u-mezre’i, amar ein berītī me-sheget et ha-merī’īm (Hebrew Quran, al-Baqarah 2: 124).[3]

Şunu da hatırlayın ki, bir vakit Rabbi, İbrāhim’i bir takım kelimelerle imtihan etti. O, onları tamamlayinca Rabbi: “Ben seni bütün insanlara Önder yapacağim” buyurdu. İbrāhim: “Rabbim, zürriyetimden de yap” dedi. Rabbi ise: “Zalimler Benim ahdime nāil olamaz” buyurdu. (Turkish Quran, Bakara Sūresi 2:124).[4]
in english  "Recall also that, at one time I did try some of the words Lord. He complement them by the Lord: "I will make you leader of all people" he said. Abraham said: "My Lord, my offspring do well," he said. The Lord says: "Cruel My covenant not to nail" said. (Turkish Qur'an, Sura al-Baqara 2: 124). [4]

      Kata Onder (lit. 'pemimpin') dalam leksikon Turki, menurut Hüseyin Vatan, mengacu pada istilah leaderhip, önderlik / öncülük dalam leksikon [5] Turki, dan kata itu juga bahasa yang digunakan oleh EM Hamdi Yazir untuk mewakili kepemimpinan Abraham. Dalam teks bahasa Arab Al Quran, Allah akan Abraham sebagai 'Pemimpin kepada bangsa-bangsa' (li-nnāsi imamah).
      Oleh Yahudi-Muslim, judul Ibrahim ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani sebagai Nesi le-enosīm (אנושים נשיא ל) atau Nesi le-ummotam (נשיא ל אמתם) yang berarti 'Pemimpin bagi bangsa-bangsa' serta judul Ibrahim dirinya sebagai Nesi le-goyim (Kejadian 17: 6; 23: 6) dan gelar Ismael sebagai Nesīim le-ummotam (Kejadian 25:16) di Masoret Taurat.
    Namun, baik Yahudi-Muslim dan Arab-Muslim benar-benar tahu bahwa enosīm dalam bahasa Ibrani dan Annas di Arab adalah 'kata benda maskulin jamak', berasal dari bahasa umum dari bahasa Semit. Orang-orang Arab juga tahu bahwa kata-kata Arab, umamā (bangsa), umat (bangsa), dan Imam (pemimpin) yang berasal dari batang yang sama, umm (ibu), demikian juga orang-orang Yahudi tahu bahwa kata-kata bahasa Ibrani, ummotam (bangsa) , dan umat (bangsa), yang berasal dari akar yang sama yaitu emm (ibu).
         Dalam studi filsafat bahasa, kedua kata Semit, ummotam dan umamā menyatakan bahwa asal-usul 'negara' yang biologis lahir dari benih (zara ') dari' ibu. 'Jelas, ini bukti filologi benar-benar juga didukung oleh kitab suci teks linguistik dari Masoretic Taurat. Negara Sarah, istri pertama Abraham akan menjadi (haytah le-Goyim, Kejadian 17:16), demikian juga untuk Hagar, istri kedua Abraham, Allah akan melipatgandakan benih nya. Tuhan berkata, va yomer lah malakh Yehvah harbah arbeh et zar'ekh ve lo yissafer merov (dan malaikat Tuhan berkata kepada dia, saya akan memperbanyak keturunanmu sangat, bisa baca dalam  Kejadian 16:10) . Allah berfirman kepada Abraham juga, yang dalam bahasa ibrani " gam et ben ha-amah le-goy asīmenu Ki zar'ekha HU tentang nubuatan Tuhan akan mengaruniakan sebuah bangsa yang besar ini bisa dibaca di Kejadian 21:13).
       Dalam konteks ini, pada kenyataannya, Allah akan membuat kedua wanita sebagai emm le-goyim atau emm le-ummotam (ibu dari bangsa), serta Allah telah berjanji kepada Abraham dirinya menjadi ab hamon goyim (bapa banyak bangsa, Kejadian 17: 4). Namun, untuk mengenali hubungan antara Ibrani dan Arab tentang Ibrahim dan  Abraham, kita harus memahami kata-kata Semit umum pada Kitab Suci Ibrahim (Taurat Ibrani dan Arab Quran) relatif; (i) Ibrani Masoretik kunci-kata, Nesi, Nesīim, Goyim, ummotam, dan enosīm, (ii) kata-kata bahasa Arab Al Quran, Imam dan Annas. Juga, narasi tekstual Quran, yang menggunakan istilah-istilah bahasa Arab, UNAS, umat dan Imam (lihat Qs 2: 124.128; 17:71), pada kenyataannya, jelas menggambarkan 'titik pertemuan' antara imam-ummah dalam Quran dan Nesi-nesīim-ummotam dalam Taurat.
         Jelas, dalam teks bahasa Arab Al Quran, Imam adalah pemimpin bangsa (umat, pl umam.), Serta Nasīim adalah pemimpin dari bangsa-bangsa (ummotam) dalam teks Ibrani Masoret. Keempat, Allah membuat dua belas anak Ismael sebagai Princes nasional atau Pemimpin nasional (Nasīim ummotam, Kejadian 25:16), tetapi dari benih belas anak Israel, Tuhan hanya membuat dua belas suku Princes (Nesīei ha-mathot, Nomor 1:16; 7: 2).
    Kelima, Allah akan membuat anak-anak Ismael, dua belas negara (sheneim 'asar ummotam, Kejadian 25:16), tetapi untuk anak-anak Israel, Tuhan hanya akan membuat mereka dua belas suku (sheneim' asar shibthei, Kejadian 49:28). Kata-kata Ibrani seperti pernyataan Quran, ISTN 'asharata asbāthā (dua belas suku). Quran mengatakan, wa qaththa'nāhum itsnā 'asharata asbāthā umamā (dan Kami dibagi Israel menjadi dua belas suku bangsa sebagai, lihat al-A'raf 7: 160)
    Dalam Quran, penggunaan kedua istilah bahasa Arab, asbāthā dan umamā (bernyanyi diatas  ummah.) Yang acuh tak acuh; tetapi dalam Taurat, penggunaan kedua istilah Ibrani, shibthei dan ummotam (bernyanyi. ummah) yang berbeda. Dengan demikian, dalam terang Taurat, kebesaran belas suku (shneim 'asar shibai) Israel adalah seperti kebesaran satu bangsa (ehad umat) dari dua belas negara (sheneim' asar ummotam) Ismail. Dan, itu menunjukkan bahwa gadol goy dari Ismael adalah terbesar dari gadol goy dari Israel.
     Oleh karena itu, dua belas pemimpin dari  Ismail (sheneim 'asar Nesīim ummotam Yishme'elīm) adalah laki-laki yang megah dari dua belas pemimpin suku dari Israel (shneim' asar Nesīi shibai Yisraelīm). Jelas, dalam teks Masoret Taurat, Ibrani kata, umat dan goy (lit. 'bangsa') mengandung banyak suku (shibai / shebethīm), dan umat (goy) itu sendiri adalah yang terbesar dari shebet (suku). Dalam bukti Alkitab, pada kenyataannya, orang-orang Israel disebut sebagai goy (bangsa), dan bukan sebagai Goyim (bangsa). Mazmur 83: 5 jelas menggambarkan, amerū lekhu  nakhhīdem mi-goy pernah OD lo yizakher shem Yisrael '(mereka mengatakan, datang, dan mari kita memotong mereka menjadi bangsa; bahwa nama Israel mungkin tidak lebih dalam mengingat ) lebih jelasnya baca ayat mazmur 83:5.


REFERENCE

[1] Hayim Shachter, The New Compact Dictionary: Hebrew-English and English-Hebrew (Tel Aviv: Yavneh Publishing House, Ltd.,1995), p.177

[2] William F. Arndt and F. Wilbur Gingrich, A Greek-English Lexicon, op.cit., pp.67, 81

[3] H.S. Abbasi, ha-Qur’an ha-Mafor: Pesiqim Nevatrim (London: Islam International Publications, Ltd, 1988), p. 11

[4] Elmali’li Muhammed Hamdi Yazir, Kur’ān-i Kerīm ve Yüce Meāli ( Istanbul: Huzur Yayın Dağıtım Pazarlama Tic. Ltd. Şti., 1994), p.18

[5] Hüseyin Vatan, Redhouse Elsözlüğü: İngilizce-Türkçe Türkçe-İngilizce (Istanbul: SEV Matbaacılık ve Yayincılık Eğitim Tic. A.Ş., 2007), p. 154









                 

Jumat, 04 Desember 2015

Apa sih politik rekonsialisasi?

    Beberapa waktu lalu sebuah sidang di gelar di Den Haag belanda soal korban tragedi 1965,peradilan itu bernama TRIBunal sebuah konsep peradilan yang digagas oleh Bertrand Russel dan merupakan peradilan yang tidak resmi namun memiliki efek yang bisa memberi pengaruh pada pemerintah dalam persidangan selalu disinggung soal rekonsilasi jelas bukan sekali dua kali kita mendengar dan sering membaca seputar rekonsiliasi,namun apa sebenarnya rekonsiliasi itu jika kita kaji lebih jauh. Sungguh luar biasa seberapa sering menyerukan panggilan untuk rekonsiliasi muncul dalam berbagai konteks.
    Namun demikian, "rekonsiliasi" masih merupakan istilah yang sangat diperebutkan, dengan perselisihan substansi, ruang lingkup,dan hubungan layak atau tidak untuk dunia politik. Perselisihan ini lebih kepada konsep dan telah menarik perhatian para sarjana yang tertarik pada bagaimana keadilan dan politik berpotongan, dan telah terbukti menjadi daerah subur untuk penelitian dan praktek. 
    Tanpa beberapa konsepsi yang jelas untuk rekonsiliasi, argumen itu selalu berputar-putar dan sulit jika tidak mustahil untuk mengembangkan kebijakan yang memadai untuk menangani masa lalu atau untuk mengevaluasi keberhasilan dan kegagalan kebijakan saat ini. Tanpa standar normatif, dengan kata lain, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan yang akan dirumuskan sulit.
    Dalam posting blog ini, saya akan memberi sketsa pendekatan normatif umum beberapa hal terkait rekonsiliasi. Dalam artian rekonsiliasi yang paling umum mengacu pada kondisi tanpa kekerasan, hidup berdampingan diterimanya kedua belah pihak dan keberadaan mantan musuh datang memberi pertanggung jawaban dan membayangkan satu sama lain sebagai sesama warga negara. 
  Perdebatan rekonsiliasi sering berpusat pada kesesuaian uji coba, komisi kebenaran, lustrasi (pembersihan), permintaan maaf resmi, peringatan, reparasi, amnesti, dan lembaga-lembaga lainnya dan kebijakan untuk mengatasi masa lalu. Dimana kekerasan adalah antara negara-negara (seperti antara Jepang dan Korea), rekonsiliasi biasanya mengacu pada proses untuk membangun hubungan sosial, politik, dan ekonomi di antara lawan dan mantan lawan (Kwak dan Nobles 2013).
    Hal yang normatif dari rekonsiliasi mencakup spektrum yang luas, mulai dari minimalis ke versi maksimalis. Misalnya,paham minimalis mengidentifikasikan rekonsiliasi dengan penghentian kekerasan politik terbuka, menghormati aturan formal hukum,dan komitmen untuk tetap menjadi bagian dari komunitas politik yang sama.penggiat ham maupun ilmuwan sosila yang bekerja dari perspektif ini menekankan bagaimana semua masyarakat politik yang dicirikan dengan nilai dasar pluralistas dan orientasi normatif,dan memiliki perbedaan pendapat menggunakan kesadaran moralnya sebagai unsur yang dasar kehidupan politik. 
   Rekonsiliasi dari pengertian ini peduli untuk menetapkan kondisi yang minimal bagi komunitas politik namun menghindari tujuan yang yang lebih berdasar untuk saling memaafkan, karena penekannya pada solidaritas sosial dan menghindari resiko adanya aksi yang koersif terhadap korban dan kelompok terpinggirkan lainnya (Dwyer 1999; Schaap 2005). 
   Sejumlah organisasi hak asasi manusia yang berorientasi secara hukum mengadopsi cara minimal ini sebagai dasar untuk mengevaluasi tingkat perdamaian dan rekonsiliasi. Ada, memang yang banyak berbicara untuk kisah ini, karena cenderung relatif mudah untuk mengoperasionalkan untuk tujuan evaluasi dan, merupakan sebuah standar yang "realistik" , solidaritas sosial dapat muncul,dan demokrasi stabil. 
    Namun, ini cara minimalis sering dikritik karena menetapkan harapan terlalu rendah; adanya komitmen untuk meletakkan senjata seseorang demi perdamaian dapat meninggalkan pelanggar hak asasi manusia yang lain dan belum tersentuh dan masih berkuasa, hubungan ekonomi bersifat eksploitatif utuh, dan kebutuhan korban tidak sepenuhnya ditangani. Satu metode yang agak lebih kokoh untuk hal ini secara luas dapat disebut sebagai "deliberatif demokrasi." Mereka meninggalkan paham minimalis,dan berpendapat bahwa reformasi kelembagaan dan musyawarah harus mengambil alih untuk meminta tanggung jawab, membangun identitas bersama, pengadilan, dan pampasan dapat dijadikan sebagai dasar untuk rekonsiliasi sementara masih menghormati keragaman dan hak-hak korban. 
      Untuk konsultatif, debat publik adalah komponen penting rekonsiliasi; korban kekerasan dan kelompok yang berbeda lainnya harus dimasukkan dalam perdebatan seputar ingatan sejarah dan membangun identitas bersama sebagai cara menegaskan kembali hak-hak dasar dan reintegrasi korban sebagai sesuatu yang sama moral dan politik. 
       Ini memerlukan sejumlah sasaran tambahan, termasuk interogasi yang penting dan peran aktif publik dari berbagai ideologi yang menunjang aksi kekerasan itu, beberapa penanggung jawaban bagi pelaku, dan pengakuan publik dan pengakuan untuk korban (seperti melalui pampasan). Kesetaraan dan reintegrasi korban, daripada harmoni sosial, karena ini merupakan tujuan umum untuk pendekatan ini (Dryzek 2005). 
      Menurut pendapat saya sendiri sudah dirumuskannya rekonsiliasi sebagai terjadi ketika identitas politik era-konflik utama tidak lagi memobilisasi loyalitas politik, dan identitas tumpang tindih lainnya muncul di posisi mereka. Fokusnya adalah pada kesetaraan politik dan sosial dengan penekanan khusus pada status korban dan korban (Verdejo 2009). 
      Uskup Agung Desmond Tutu, tokoh kemanusian asal afrika selatan, yang sering disebut untuk memberi konsepsi secara signifikan memperluas rekonsiliasi (Tutu 2000). Karyanya yang khas dari apa yang bisa kita sebut formulasi maksimalis, keberadaan rekonsiliasi dipahami sebagai pembaharuan hubungan sosial dan pribadi melalui pertobatan dan pengampunan. Sangat dipengaruhi oleh etika agama," yang berfokus pada memulihkan hubungan antara korban dan pelaku dan transformasi moral warga”. Pendekatan ini memberikan perhatian khusus terhadap pentingnya transformasi pribadi dan cara-cara di mana wacana etika agama dan lainnya dapat digunakan untuk mempromosikan kasih sayang, dan kasih karunia dalam hubungan interpersonal. Teori baru-baru ini telah menarik sumber daya agama untuk memperdalam pemahaman transformasi politik (Philpott 2012).
    Berbagai pendekatan menghasilkan sejumlah kebijakan dan program yang agak berbeda: misalnya, minimalis mungkin menekankan kebijakan yang memperkuat supremasi hukum dan perubahan tata tertib politik dimana bisa ikut serta dalam pemilu adalah salah satu manifestasinya sedangkan paham bermain imbang perhatian dari publik yang konsultatif untuk kebutuhan tambahan untuk mengamankan kondisi untuk kelompok historis yang berbeda untuk berpartisipasi secara setara dalam politik. 
    Maximalis membawa perhatian lebih lanjut untuk kebutuhan transformasi mendasar dalam nilai-nilai pribadi,dengan semua kelas,jangka panjang dari program maximalis pada tingkat masyarakat bahwa ini mungkin memerlukan waktu lama.namun Pada akhirnya, upaya rekonsiliasi ini ditarik keluar dan sering hanya sebagian yang berhasil, tetapi panggilan yang terus untuk rekonsiliasi diberbagai konteks politik menunjukkan permintaan untuk merespon masa lalu dan kekerasan sehingga tidak dapat dan tidak akan terulang.

REFERENCES:

Dwyer, Susan. 1999. “Reconciliation for Realists.” Ethics and International Affairs 31(1).

Dryzek, John. 2005.  “Deliberative Democracy in Divided Societies: Alternatives to Agonism and Analgesia” Political Theory, 33/2(2005) 218-242.

Kwak, Jun-Hyeok and Melissa Nobles (eds.) 2013. Inherited Responsibility and Historical Reconciliation in East Asia. New York: Routledge.

Murphy, Colleen. 2010. A Moral Theory of Political Reconciliation. Cambridge: Cambridge University Press.

Philpott, Daniel. 2012. Just and Unjust Peace: An Ethic of Political Reconciliation. Oxford: Oxford University Press.

Schaap, Andrew. 2005 Political Reconciliation. New York: Routledge.

Tutu, Desmond. 2000. No Future Without Forgiveness. London: Image.

Verdeja, Ernesto. 2009. Unchopping a Tree: Reconciliation in the Aftermath of Political Violence. Philadelphia, PA: Temple University Press.

Senin, 30 November 2015

TIGA SUMBER DAN KOMPONEN MARXISME
Di  segenap penjuru dunia yang beradab,  ajaran-ajaran  Marx ditentang dan diperangi oleh semua ilmu pengetahuan borjuis (baik pejabat resmi -official- maupun kaum liberal), yang memandang Marxisme  semacam "sekte jahat". Tidak bisa diharapkan adanya sikap lain, karena tidak  ada  ilmu sosial yang netral dalam suatu  masyarakat  yang berbasiskan  perjuangan  klas. Lewat satu dan lain cara,  semua pejabat resmi dan ilmuwan liberal, membela  perbudakan  upahan (wage slavery). Sedangkan Marxisme telah  jauh-jauh hari  menyatakan  perang  tanpa henti  terhadap  perbudakan  itu. Mengharapkan sikap netral dari ilmu pengetahuan dalam  masyarakat perbudakan upahan adalah bodoh, sama naifnya dengan  mengharapkan sikap netral dari para pemilik pabrik dalam menghadapi pertanyaan apakah  upah  buruh dapat dinaikkan tanpa  mengurangi  keuntungan modal.

Tapi bukan hanya itu. Sejarah filosofi dan sejarah ilmu-ilmu sosial  memperlihatkan  dengan jelas bahwa dalam  Marxisme  tidak terdapat  adanya  "sektarianisme", dalam artian adanya  doktrin-doktrin  yang sempit dan picik , doktrin yang dibangun jauh  dari jalan  raya perkembangan peradaban dunia. Sebaliknya,  si  jenius Marx  dengan tepat menempatkan jawaban-jawaban terhadap  berbagai pertanyaan  yang diajukan oleh pikiran-pikiran termaju dari  umat manusia.  Doktrin-doktrinnya bangkit sebagai kelanjutan  langsung dari ajaran-ajaran besar dalam bidang filosofi,  ekonomi-politik, dan sosialisme.

Doktrin-doktrin  Marxist bersifat serba guna karena  tingkat kebenarannya  yang tinggi. Juga komplit dan harmonis, serta  melengkapi  kita  dengan suatu pandangan dunia yang  integral,  yang tidak  bisa  dipersatukan dengan berbagai macam  tahyul,  reaksi, atau tekanan dari pihak borjuis. Marxisme merupakan penerus  yang sah  dari  beberapa pemikiran besar umat manusia dalam  abad  19, yang  direpresentasikan  oleh filsafat  klasik  Jerman,  ekonomi-politik Inggris dan sosialisme Prancis. Inilah  tiga  sumber  dari Marxisme, yang  akan  kita  bahas secara ringkas beserta komponen -komponennya.


Filsafat  yang dipakai Marxisme adalah materialisme.  Sepanjang  sejarah Eropa modern, dan khususnya pada akhir abad  18  di Prancis, di mana terdapat perjuangan yang gigih terhadap berbagai sampah dari abad pertengahan, terhadap perhambaan dalam  berbagai lembaga dan gagasan, materialisme terbukti merupakan satu-satunya filosofi  yang konsisten, benar terhadap setiap cabang ilmu  alam dan  dengan gigih memerangi berbagai bentuk tahyul,  penyimpangan dan  seterusnya.  Musuh-musuh  demokrasi  selalu  berusaha  untuk "menyangkal", mencemari dan memfitnah materialisme, membela  berbagai bentuk filosofi idealisme, yang selalu, dengan satu dan  lain cara, menggunakan agama untuk memerangi materialisme.
Marx  dan Engels membela filosofi materialisme dengan  tekun dan berulangkali  menjelaskan  bagaimana  kekeliruan   terdahulu adalah setiap penyimpangan dari basis ini. Pandangan-pandangan mereka dijelaskan secara panjang lebar dalam karya Engels, Ludwig Feuerbach dan Anti-Duhring[1][2], yang seperti halnya Communist  Manifesto,merupakan buku pegangan bagi setiap pekerja  yang  memiliki kesadaran kelas.
Tetapi  Marx  tidak berhenti pada materialisme abad  18:  ia mengembangkannya  lebih jauh, ke tingkat yang lebih tinggi.  Marx memperkaya  materialisme dengan penemuan-penemuan  dari  filosofi klasik  Jerman,  khususnya sistem Hegel, yang  kemudian  mengarah kepada  pemikiran Feuerbach. Penemuan yang paling penting  adalah dialektika,  yaitu doktrin tentang perkembangan  dalam  bentuknya yang  paling padat, paling dalam dan amat  komprehensif.  Doktrin tentang relativitas  pengetahuan manusia  yang  melengkapi  kita dengan  suatu refleksi terhadap materi-materi yang terus  berkembang. Penemuan-penemuan  terbaru dalam  bidang ilmu alam: radium, elektron, transmutasi elemen, merupakan bukti nyata dari  materialisme  dialektis  yang  diajarkan Marx,  berbeda  dengan  dengan ajaran-ajaran  para filosof borjuis dengan idealisme mereka  yang telah usang dan dekaden.
Marx  memperdalam  dan mengembangkan  filosofi  materialisme sepenuhnya,  serta  memperluas pengenalan  terhadap  alam  dengan memasukkan pengenalan terhadap masyarakat manusia. Materialisme Historisnya  yang  dialektis merupakan pencapaian  besar  dalam  pemikiran ilmiah. Kekacauan yang merajalela dalam berbagai pandangan sejarah  dan  politik digantikan dengan suatu teori ilmiah  yang  amat integral  dan  harmonis,  yang  memperlihatkan  bagaimana,  dalam konsekwensinya  dengan pertumbuhan  kekuatan-kekuatan  produktif, suatu sistem kehidupan sosial muncul dari sistem kehidupan sosial yang  ada  sebelumnya dan berkembang  melalui  berbagai  tahapan--contoh kongkretnya: kapitalisme yang muncul dari feodalisme.
Seperti halnya pengetahuan manusia merefleksikan alam  (yang merupakan  materi  yang  berkembang),  yang  keberadaannya  tidak tergantung dari manusia, begitu pula pengetahuan sosial (berbagai pandangan  dan doktrin yang dihasilkan manusia--filosofi,  agama, politik,  dan seterusnya) merefleksikan sistem ekonomi  dari  masyarakat.  Berbagai  lembaga politik merupakan  superstruktur  di atas fondasi ekonomi. Kita melihat, sebagai contoh, bahwa 
berbagai  bentuk  politis dari negara-negara Eropa  modern  memperkuat dominasi pihak borjuasi terhadap pihak proletariat.
Filosofinya  Marx merupakan filosofi  materialisme  terapan, yang mana membekali umat manusia, khususnya kelas pekerja, dengan alat-alat pengetahuan yang ampuh.



[1][2] Referensinya adalah tulisan Engels “Anti-Duhring: Herr Eugen Duhring’s Revolution in Science 



[1][1] Artikel ini ditulis oleh Lenin untuk memperingati 30 tahun kematian Marx dan dipublikasikan dalam Prosveshcheniye No. 3 tahun 1913. Prosveshcheniye (Pencerahan)—adalah terbitan teoritik bulanan kaum Bolshevik yagn diterbitkan secara legal di St.Petersburg mulai bulan Desember 1911 sampai Juni 1914. Oplahnya mencapai 5000 eksemplar. Lenin memimpin penerbitan ini dari luar negeri, awalnya di Paris, kemudian Cracow dan Poronin; dia mengedit artikel-artikelnya melalui korespondensi yang intense dengan para editor.
Pada masa PD I majalah ini dibredel oleh rejim tsar. Kemudian terbit lagi pada musim gugur tahun 1917 tapi hanya sekali terbit. 



Inilah Bangsa Indonesia Sesungguhnya (Bangsa sebagai Fondasi Negara Sebagai Bangunan)

Inilah Bangsa Indonesia Sesungguhnya (Bangsa sebagai Fondasi Negara Sebagai Bangunan)

Demi kemanusiaan dan keadilan setiap bangsa tidak boleh memperbudak atau diperbudak bangsa lain karena setiap bangsa adalah majikan untuk dirinya sendiri " ( Romo Jansen Boediantono )
      Bangsa Indonesia adalah bangsa yang lahir dari kearifan budaya nusantara untuk mencari persamaan ditengah begitu banyaknya perbedaan melalui musyawarah mufakat pada tanggal 28 oktober 1928 atau yang lebih kita kenal dengan nama Sumpah Pemuda dengan sebuah cita – cita “ Mengangkat harkat dan martabat hidup rakyat “
     Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan dasar ukuran dari keberhasilan cita – cita tersebut. Kesempurnaan dasar ukuran akan tercapai bila seluruh perjuangan dikembalikan oleh sebuah keyakinan adanya keterlibatan Tuhan Yang maha Esa didalam proses membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Usaha dan perjuangan untuk tetap bersikap dengan berpihak kepada manusia yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kepada rakyat yang dipimpin oleh hikmah ( ilmu ) kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan merupakan lintasan yang pasti.
     Cita – cita Sumpah Pemuda ini merupakan eksternalisasi dari nilai – nilai luhur  budaya masyarakat yang menjadi kesepakatan bersama lalu pada gilirannya nanti lambat laun menjadi sebuah pemikiran falsafah. Pemikiran yang dibentuk oleh eksternalisasi ini kemudian mengukuhkan diri dan bangsa Indonesia menghadapinya sebagai faktisitas maka dalam proses inilah terjadi objektivikasi  pada pemikiran tersebut. Objektivikasi tersebut pada tanggal 1 juni 1945 pendiri bangsa menamakannya sebagai Pancasila. Dengan ini hendak dikatakan sebagai suatu sistem falsafah, Pancasila merupakan refleksi dari suatu tata nilai yang telah disepakati bersama dan menjadi ciri khas bangsa Indonesia serta mempengaruhi perilaku masyarakat serta pranata sosial - politik dalam mencapai cita - cita yang diharapkan. Dalam pada itu, agar pemikiran yang telah diobjektivikasi tidak menjadi asing bagi bangsa Indonesia itu sendiri yang menciptakannya, ia harus diusahakan kembali menjadi bagian subjektivitas bangsa Indonesia. Inilah tahapan internalisasi. Dan UUD ‘45 adalah cara bagaimana Pancasila menjadi bagian subjektivitas bangsa Indonesia
     Pengertian falsafah ini diambil dalam pengertian yang luas, baik sebagai hasil refleksi bangsa Indonesia maupun sebagai ilmu yang memberikan dasar teoritis bagi sistem berpikir  bangsa indonesia
     Pancasila menjadi sah apabila membawa bangsa ini kedalam situasi dimana Pancasila mampu menjelaskan dan menjawab persoalan yang dihadapi bangsa. Dengan demikian Pancasila membuat aktivitas bangsa Indonesia menjadi efektif dan mengenai sasaran. Terputus dari kehidupan berbangsa dan bernegara Pancasila menjadi verbalisme semata, menjadi berhala bagi bangsa Indonesia. Sebaliknya, terputus dari Pancasila kehidupan berbangsa dan berrnegara menjadi kehilangan arah. Bangsa Indonesia menjadi teralienasi dengan dirinya sendiri. Untuk itu diperlukan proses internalisasi agar Pancasila sebagai hasil objektivikasi menjadi  subjektivitas bangsa Indonesia itu sendiri. UUD’45 adalah bentuk internalisasi tersebut
     Sebagai bentuk internalisasi UUD’45 dapat dikatakan sebagai progam aksi dalam memberikan tuntunan pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara. UUD’45 bertumpu pada asumsi dasar. Asumsi dasar berada pada falsafah yang melandasinya. Bila Pancasila merupakan tumpuan dari lahirnya UUD’45, sedangkan UUD’45 mengatur dan mengarahkan kehidupan berbangsa dan bernegara maka berarti Pancasila bukanlah sesuatu yang tidak praksis dan UUD’45 adalah suatu usaha agar pancasila menjadi sistem gagasan yang dapat diaprosiasikan, terhindar dari kebekuan dan sikap irrasional
     Uraian singkat diatas sebenarnya hendak mengatakan bahwa UUD’45 merupakan ideologi dari falsafah bangsa Indonesia dan bukan sekedar konstitusi. Sifat ideologi sangat kental bila kita melihat isi UUD’45 secara totalitas, dimana UUD’45 berisi kehendak sebuah bangsa untuk dominan menentukan sendiri sistem ide dan gagasan yang secara normatif mempengaruhi persepsi, landasan dan perilaku berbangsa dan bernegara
     Sebagai contoh adalah makna kedaulatan rakyat seperti yang terdapat dalam UUD’45 hasil amandemen pasal 1 ayat 2. Dari sudut pandang konstitusi pasal ini dapat melahirkan kedaulatan individu dalam pengelolaan partai – partai dan susunan perwakilannya ditentukan oleh pemilu. Pemahaman konstitusional  ini dapat menciptakan terjadinya penciutan signifikansi pada hak – hak berpolitik rakyat, terjatuh dalam hak pilih bukan hak suara. Hak pilih tentu saja memiliki perbedaan kualitatif dengan hak suara. Dalam hak pilih siapapun dapat menggunakannya tanpa pertimbangan akal sehat sekalipun, sebaliknya hak suara menuntut pertimbangan akal sehat dan kearifan dalam menggunakannya. Pemahaman konstitusional ini pada gilirannya nanti akan menyebabkan kekuasaan ditentukan oleh faktor pilihan mayoritas. Hal ini tentu saja sangat membahayakan : Bagaimana jadinya bila pilihan mayoritas kepada kelompok yang anti pada kedaulatan rakyat?
     Makna kedaulatan rakyat tersebut tentu saja berbeda bila kita memahami UUD’45 dalam kerangka ideologis. Pasal tersebut diatas memiliki keterkaitan kuat dengan sistem nilai pancasila, yaitu musyawarah mufakat. Dengan demikian yang dinamakan kedaulatan rakyat mengandung arti kedaulatan yang diwujudkan dalam badan perwakilan rakyat yang susunannya ditentukan oleh hak suara dari musyawarah mufakat rakyat.
     UUD ‘45 sebagai ideologi dari falsafah Pancasila tentu saja tak dapat dengan mudahnya begitu saja diganti atau dirubah. Pergantian atau perubahan terhadap UUD’45 bila tidak memahami betul grand design bangsa indonesia sangat membahayakan karena akan menciptakan jarak eksistensial antara kehidupan berbangsa dan bernegara dengan Pancasila.  Oleh karena itu pembatalan terhadap amandemen UUD’45 sangat mendesak untuk dilakukan agar cita - cita bangsa Indonesia “ Mengangkat harkat dan martabat hidup rakyat “ dapat tercapai.


NKRI Sebuah Negara Tanpa Partai
     Pancasila, UUD’45 dan NKRI memiliki keterkaitan yang erat dan merupakan grand design bangsa Indonesia. Bila proklamasi hanya dapat mengantarkan bangsa Indonesia pada pintu gerbang kemerdekaan, maka pelaksanaan design secara benar merupakan kunci yang dapat membuka pintu gerbang kemerdekaan sehingga anak – anak bangsa bisa masuk kedalamnya. Namun antara design dengan bangsa Indonesia memiliki titik kelemahan yang cukup besar. Seperti halnya sebuah lukisan dalam sebuah pigura dengan dimensi lain diluarnya, ada retakan – retakan dalam kaca pigura yang mudah pecah dan membuat dimensi lain masuk merusak lukisan tersebut. Retakan tersebut berupa mentalitas manusia sebagai pelaksananya
     Bangsa Indonesia memiliki mental budak akibat terlalu lama mengalami penjajahan. Mental budak inilah yang membuat bangsa Indonesia begitu mudah menerima ide dan gagasan yang dapat merusak design yang telah dibuatnya sendiri. Maka dengan alasan potensi fasisme dalam UUD’45 pihak imperialis – kapitalis melalui berbagai macam perjanjian lalu melakukan penekanan dan bangsa Indonesia pun melakukan pergantian UUD’45 dengan konstitusi RIS kemudian selanjutnya UUDS 50 sebagai bentuk ketidak berdayaan. Akibatnya terjadilah untuk pertama kali deformasi pada design bangsa. Partai – partai berdiri, bentuk Negara berubah menjadi RIS, lembaga kepresidenan tidak berjalan sesuai dengan fungsinya. Puncak deformasi terselenggaranya pemilu tahun 1955 yang mengakibatkan frgamentarisasi masyarakat dan kekacauan pada sistem ketatanegaraan. Kekacauan ini disadari oleh Presiden Sukarno, lalu lahirlah dekrit presiden yg berisi kembali pada UUD’45.
     Sistem kepartaian dan pemilu tidak sesuai dengan design yang telah dibuat oleh pendiri bangsa. Ini disebabkan sistem kepartaian dan pemilu bertentangan dengan asas musyawarah mufakat sebagai metode dalam menegakan kedaulatan rakyat.  NKRI sejatinya adalah sebuah negara tanpa partai. Oleh karena itu dalam UUD’45 tidak dijumpai satu pasal pun yang mengisyaratkan penyelenggaraan pemilu yg diikuti partai – partai dengan hak pilih rakyat sebagai pembenarnya. Pelaksanaan pemilu yang diikuti oleh partai – partai merupakan implementasi dari pasal 34 konstitusi RIS dan pasal 35 UUDS50 padahal ke dua konstitusi tersebut adalah hasil penetrasi bangsa imperialis – kapitalis kepada bangsa Indonesia. Dengan demikian sesungguhnya pemilu dan partai adalah bukti kemenangan kaum komprador dalam menguasai negeri ini
     Fakta ini disadari juga oleh presiden Suharto. Ini yang menyebabkan beliau tidak pernah mendirikan partai tetapi memperkuat sebuah golongan besar untuk menampung berbagai macam kelompok dalam masyarakat untuk bermusyawarah mufakat dalam mengatasi persoalan bangsa. Golongan besar ini bernama Golongan Karya ( GOLKAR ). Bila pada awal berdirinya NKRI fasisme menjadi alasan bagi bangsa imperialis – kapitalis untuk mengeksploitasi mental budak bangsa ini, pada pemerintahan Suharto ketergantungan ekonomi menyebabkan mental budak pun kambuh dan terselenggaralah pemilu
     Untuk mengingatkan pada seluruh anak – anak bangsa bahwa dirinya tidak mampu melakukan perlawanan terhadap tekanan  imperialis – kapitalis presiden Suharto pada tahun 1972 mengubah tanggal 17 agustus menjadi hari ulangtahun republik Indonesia ( HUT RI ) bukan hari proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Ini artinya, presiden Suharto sedang memberitahu anak – anak bangsa lain bahwa dirinya tidak melaksanakan UUD’45 tapi UUDS 50 karena yang menyatakan tanggal 17 agustus 1945 sebagai HUT RI hanya terdapat pada pembukaan UUDS 50
     ‘Kepatuhan’ bangsa Ini pada bangsa imperialis – kapitalis terus berlanjut setelah mundurnya presiden Suharto. Bila sebelumnya mental budak mengakibatkan anak – anak bangsa tak mampu mengadakan perlawanan secara keseluruhan maka pada era reformasi mental tersebut telah membuat anak – anak bangsa dengan riangnya menerima penjajahan atas ide dan gagasan oleh imperialis – kapitalis. Bentuk kegembiraan tersebut dinyatakan melalui amandemen pada UUD’45. Ini tentu saja menjadi sesuatu yang ironis dan konyol : Apa yang menjadi alasan amandemen UUD’45 jika UUD’45 itu sendiri mulai dari NKRI berdiri sampai hari ini belum pernah dilaksanakan?
Lumbung Untuk Menegakan Kedaulatan Rakyat
     Dalam lintasan perjalanan sejarah bangsa Indonesia  musyawarah mufakat telah melahirkan Bangsa Indonesia ( 28 oktober 1928 ) dan tercapainya kemerdekaan Bangsa Indonesia  ( 17 agustus 1945 ) serta telah membentuk NKRI ( 18 agustus 1945 ). Oleh karena itu musyawarah mufakat merupakan jatdiri bangsa sehingga proses musyawarah mufakat harus menjadi metode yang selalu digunakan dalam menegakan kedaulatan rakyat agar cita – cita bangsa indonesia untuk “ Mengangkat Harkat dan Martabat Hidup Rakyat dapat tercapai “.
     Harkat dan Martabat itu tercermin pada saat rakyat memiliki posisi untuk membangun aturan – aturan dasar didalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak bertentangan dengan hukum – hukum Tuhan. Kita menyebutnya dengan istilah Kedaulatan Rakyat. Kedaulatan rakyat ini ditegakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR ) sesuai yang diamanatkan oleh pasal 1 ayat 2 UUD ‘45 (asli ). Wewenang MPR berdasarkan pasal 3 UUD’45 ( asli ) adalah menetapkan UUD dan GBHN sebagai aturan – aturan dasar NKRI. Dengan demikian MPR sejatinya harus memainkan peran sebagai perwakilan rakyat atau dapat  juga dikatakan sebagai lembaga bangsa.
     Persoalan kemudian muncul dengan kehadiran DPR yang merupakan perwakilan partai- partai dari hasil pemilihan umum ( pemilu ) dalam susunan keanggotaan MPR. Keberadaan anggota – anggota DPR dalam MPR ini merupakan kooptasi lembaga negara terhadap lembaga bangsa. Hal ini disebabkan DPR berdasarkan pasal 19 UUD’45 ( asli ) berfungsi sebagai legislatif bersama – sama dengan presiden dan mahkamah agung yang berfungsi sebagai lembaga eksekutif dan legislatif berperan sebagai lembaga negara
     Pasal 2 ayat 1 selama ini telah mengakibatkan terjadinya kekuasaan yang sentralistis dan pada gilirannya nanti melemahkan makna kedaulatan rakyat serta menghancurkan moral serta etika bangsa pada pemimpin dan rakyatnya. Kehancuran moral dan etika bangsa akan menyebabkan terjadinya krisis kepemimpinan bangsa atau sebaliknya.
     Keadaan ini  bertambah parah dengan adanya amandemen pada UUD’45 yang dilakukan MPR RI pada tahun 2002. UUD’45 merupakan landasan untuk tegaknya kedaulatan rakyat.  Sehingga amandemen pada UUD’45 akan menghilangkan  peran dan fungsi MPR yang sekaligus berarti menghilangkan kedaulatan rakyat seperti yang tercermin dalam pasal 1 ayat 2 UUD’45 hasil amandemen. Disamping itu juga tercabutnya asas musyawarah mufakat dalam proses menentukan kepemimpinan nasional akibat pasal 6 ayat 2 UUD’45 hasil amandemen telah mengakibatkan siapapun yang menjadi pemimpin dinegeri ini akan berhadap – hadapan dengan rakyat dalam sebuah pertarungan eksistensial. Rakyat akan terus mendesak pemimpinya sehingga pemimpin kehilangan karakter. Yang dimiliki pemimpin hasil amandemen UUD’45 adalah perilaku kekuasaan bukan karakter kebangsaan. Dan inilah yang terjadi pada saat ini
     Persoalan – persoalan inilah yang menjadi pokok pikiran yang harus dicari jawabannya. Konstitusi harus dikembalikan pada UUD’45 ( asli ) dengan  ‘breakdown’ pada pasal 2 ayat 1 menjadi MPR adalah wakil – wakil rakyat.
     Harus ada keberanian anak – anak bangsa menjadikan MPR sebagai perwakilan rakyat yang dihasilkan melalui proses musyawarah mufakat rakyat secara berjenjang mulai dari Rukun Tetangga ( RT ), Rukun Warga ( RW ) sampai tingkat kabupaten. MPR ini harus ada disetiap kabupaten diseluruh Indonesia. Dengan demikian MPR memiliki fungsi lumbung, sebuah tempat untuk rakyat bermusyawarah mufakat didalam menghitung dan mendistribusikan aset bangsa yang dimiliki, dibangun dan dikembangkan sehingga keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia dapat terjamin. Sistem pola distribusi pembangunan lumbung harus ditentukan oleh nilai pengembangan lingkungan yang telah distandarkan oleh sistem tanah adat sehingga lumbung dapat menjadi upaya agar perubahan lingkungan yang terjadi tidak bertentangan dengan budaya setempat
    
Oleh karena itu anggota – anggota MPR ditingkat kabupaten (lumbung) sehari – harinya mereka harus berada dan bekerja didaerahnya masing – masing dan sedikitnya sekali dalam 5 tahun perwakilan – perwakilan MPR kabupaten ( lumbung ) ini bersidang diibukota negara untuk mengangkat dan memberhentikan presiden, membuat garis – garis besar haluan negara ( GBHN ), menetapkan Undang – Undang Dasar. Bentuk MPR seperti inilah yang semestinya harus kita perjuangkan bersama. Agar MPR benar – benar mencerminkan kedaulatan rakyat, agar sistem politik dapat menggambarkan keragaman budaya bukan ideologi, agar wakil rakyat  benar – benar menjadi perwakilan rakyat bukan perwakilan partai dan tahu persoalan rakyat yang diwakilinya, agar kelak lahir pemimpin – pemimpin yang berhikmad ( berilmu ) kebijaksanaan dengan keberpihakannya pada rakyat bukan pada kekuasaan dan uang.

     Tulisan ini tidak berpretensi menjadi sebuah pemikiran yang bersifat sophiscated thinking. hanya sekadar upaya seorang rakyat membentangkan peta tentang makna Pancasila, UUD’45 dan kedaulatan rakyat secara sederhana, sejauh tidak tersesat memahaminya. Bangsa Indonesia memiliki Pancasila sebagai falsafah hidupnya, UUD’45 menjadi ideologi yang mengimplementasikan nilai – nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, negara yg dilahirkan oleh ideologi menjadi alat bagi bangsa Indonesia untuk mencapai tujuannya dan hanya bisa berdiri kokoh bila ditopang oleh kedaulatan rakyat. Karena itu berbicara tentang kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dapat dilepaskan dari filsafat, ideologi serta kedaulatan rakyat sebagai suatu kesatuan yang bulat dan utuh.  Tergusurnya asas musyawarah mufakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan bentuk deformasi pada design kebangsaan kita yang pada gilirannya nanti hanya melecehkan kehormatan rakyat Indonesia yang berdaulat dan merdeka. Tulisan ini  hanyalah sekedar 'terompet' yang mengajak anak - anak bangsa untuk berdiri tegak, kemudian mengepalkan tangan sambil berteriak  "Mari Bung Rebut Kembali......!  Rebut kembali kedaulatan rakyat dari tangan partai !"