Selasa, 29 Desember 2015

PRESTARI DEMOKRASI YANG IRONI


Oleh : Sahru Romadon

Saat Socrates masih hilir-mudik secara fisik dan pikirannya mewarnai kehiduapan Yunani Abad ke-4 SM, politik diartikan sebagai wahana mewujudkan impian masyarakat yang damai dan sejahtera. Demokrasilah jalan mulus yang terentang panjang untuk mencapai impian.

Sejak mulanya, demokrasi memang diikhtiarkan sebagai jalan terbaik menuju masyarakat yang berdaya di semua segi kehidupan. kini, demokrasi tertumbuk jalan buntu ketika politik menyimpang dari hakikatnya yang sarat dengan nilai budaya, moral dan etika.

Tapi menggelitik di usia 70 tahun pasca kemerdekaan indonesia dan 16 tahun fase reformasi saat sekarang ini ada yang mengekspresikan/mengargumentasikan ketidak percayaan dengan kultur politk negri ini dengan nyeleneh seperti “Negri Setengah Demokrasi” atau saya sendiri mengatakan “Demokrasi Prosedural” dan kebanyakan orang pun mengamini pernyataan bukan tanpa alasan tersebut. Hari ini bisa kita cermati dari orientasi pelaku politik lebih didominasi tafsir politik dan ekonomi ketimbang sosio-kultural. Tafsir politik tergambar dari kentalnya relasi kekuasaan antar komponen kepentingan. Suara massa dibonceng rame-rame demi sepotong jabatan politik, di tingkat partai atau posisi publik lainnya.

Penggalangan massa pun masuk dalam ranah ekonomi, ada perniagaan yang berlangsung di sana. Relasi jual-beli ini mengondisikan harus baliknya modal yang telah ditanamkan ketimbang Visi kesejahteraan yang kelak mesti dibangun untuk semua. Visi kesejahteraan, yang mestinya ditegakkan dari himpunan suara yang digalang, menciut menjadi kemakmuran kelompok. Kesejahteraan sedikit orang itulah yang kelak melesakkan kepentingan-kepentingannya ke wilayah luas (public).

Situasi ini dipastikan serta-merta menjauhkan pelaku politik dari prilaku asketisme (memerangi kejahatan). individu yang masuk sarang kekuasaan pun segera menjauh dari sifat kesederhanaan, kejujuran dan kerelaan berkorban. padahal, perjuangan memberdayakan masyarakat justru membutuhkan sifat-sifat tersebut, sifat yang menzikirkan kebutuhan khalayak.

Prilaku yang larut dalam kepentingan pribadi dan kelompok mutlak kesulitan menyelami persoalan masyarakat luas. Kalau problem saja tak diselami, bagaimana masalah akan diidentifikasi dan rumusan solusi akan menjauh sejauh-jauhnya.
Instrument-instrumen politik, yang menegakkan diri pada ketidak beradaban itu hanya melahirkan upaya mengejar fasilitas dan previlese dari pada mengabdikan waktu dan pikirannya bagi orang banyak. Situasi ini sesungguhnya membalik jarum jam sejarah ketika demokrasi yang dicita-citakan malah ditafsir sesuai selera penghayatnya.

Ketika politik berubah menjadi urusan segelintir orang, pertaruhan yang dimainkan menjadi mengerikan. Jutaan manusia bisa dengan gampang digelombangkan nasibnya oleh kasak-kusuk satu-dua elit. Maka, ketika politik cuma menjadi papan catur pertarungan politisi tak bermarwah, harga yang tertera menjadi teramat mahal.

Hingar-bingar politik pada akhirnya cuma terjadi untuk soal-soal jangka pendek, sarat kepentingan dan berlumur tipu muslihat. Hingga demokrasi dijiwai sebagai seperangkat aturan bersama yang di pahami sampai bisa diakali tanpa menyalahi prosedur dan memang telah nampak kronis dinegeri tercinta ini, karna memang pilar-pilar kekuasaan yang harusnya menjadi penjaga idealisme demokrasi rakyat juga sudah berselingkuh, hingga menjelma sebagai benteng-benteng pelindung, yang muncul dari suatu produk politik sebagai komoditas. Sampai akhirnya apakah rakyat bangga hanya disuguhkan euforia hak demokrasi pasif baik Legislatif tingkat I, II ataupun Eksekutif dari Kabupaten, Provinsi sampai ke Nasional yang datang silih berganti dalam lima tahunan?  apakah rakyat juga yakin sudah benar-benar memiliki semangat demokrasi? kalau suaranya saja rela di gadaikan selama lima tahun dengan harga sangat murah.

Maka, konstruksi berfikir yang harus dibangunkan ketika barometer demokrasi itu terjadi dalam hajat lima tahunan, ada beberapa perbaikan sesegera mungkin pada alur simpul-simpul panggung pesta demokrasi itu sendiri. Dimulai dari mengadabkan para pelaksana,  peserta dan pemilih  pemilu sehingga muncul simbiosis rekruitmen kader bangsa yang  beradab.


Dan jauh dari pada itu semua, ditengah krisis kepercayaan pada pilar-pilar kekuasaan yang dikatakan sebagai trias politika oleh Jon Lock “Eksekutif, Legislatif dan Federatif” ataupun Montesquieu “Eksekutif, Legislatif Dan Yudikatif” dimana keduanya meletakkan sudut pandang pada pelaksana, pengawas dan pengadil, dengan segala komponen pendukung didalamnya yang belum mampu membawa semangat demokrasi semestinya. Maka kini, bagaimana mahasiswa/kelas intelektual mampu menjiwa untuk dapat memainkan peran pemikir dan mengkaryakan pemikiran dengan upaya penyadaran masyarakat luas agar dapat besama-sama secara aktif menjelma sebagai motor penggerak revitalisasi cita-cita demokrasi yang harus diselenggarakan dengan prosedur berkualitas sampai tercapainya subtansi demokrasi di negri kaya akan potensi tapi nampak ironi.       

ZOROASTRIANISME DAN BANGSA ARAB DI MASA ERA PRA ISLAM

      Pengetahuan yang mantap tentang berbagai tradisi agama di pra-Islam Jazirah Arab berkembang karena aktivitas arkeologi. Kita tahu tradisi Iran terutama iran kuno atau persia kuno dan pengaruh agama-agama sebelum islam yang muncul dan  terkenal di pusat-pusat utama peradaban di timur tengah   terutama di Saudi kini hingga, dari Bahrain ke Yaman telah memberikan fakta sejarah tersendiri yang bisa mengungkapkan bagaimana kondisi Arab pra islam . Sebagai contoh, selama era perang Bizantium-Sasania  banyak kaum kafir atau yang memusuhi muhammad  di mekkah mengejek Muhammad bahwa "Ahli Kitab," yaitu orang-orang Kristen dari Byzantium (Arab. Ahl al-Kitab min ar-Rum) telah dikalahkan oleh Persia dan dengan demikian mereka kemudian akan mengalahkan Muslim.
      
    Sejarawan Muslim dari Amol, Tabari juga menyatakan bahwa Muhammad itu tidak begitu menyukai Zoroastrian (Arab. Al-Majus, lit.'magi '), memenangkan pertempuran melawan apa yang ia dianggap sebagai "Ahli Kitab" (ahl Arab. al-Kitab). Sebagai tanggapan, tradisi Islam mengatakan bahwa wahyu telah dikirim yang memprediksi kemenangan bangsa romawi atas persia yang kemudian dikenal sebagai Sūraar-Rum (Qur'an, SūraXXX) yang dimana berisi prediksi kekalahan raja Sasania raja, Khosrow II (590-628 M) dan kemenangan Kaisar Heraclius (610-641 CE) (Tabari, 1999, 324). Dengan demikian, Qur'an merupakan sumber penting untuk mengukur dan sekaligus menggambarkan pandangan Muslim awal terhadap  panggung politik Iran-Bizantium yang sangat berpengaruh pada islam awal (Bowersock 2012, 62-63).

Surah Ar Ruum 2 - 4 

غُلِبَتِ الرُّومُ (2) فِي أَدْنَى الْأَرْضِ وَهُمْ مِنْ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُونَ (3) فِي بِضْعِ سِنِينَ لِلَّهِ الْأَمْرُ مِنْ قَبْلُ وَمِنْ بَعْدُ وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ (4) 

Telah dikalahkan bangsa Rumawi,(QS. 30:2)  di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang,(QS. 30:3) dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman,(QS. 30:4)
          
      Tapi perlu di ingat  bahwa Zoroastrianisme itu terus menjadi  yang terpenting di Semenanjung Arab. Ada Para Pemeluk Zoroastria pada periode pra-Islam di Saudi, mungkin di antara suku-suku Tamim di Yaman, dan kita tahu bahwa penganut Zoroaster juga tinggal di Bahrain dan juga oman (Friedmann 2003, 69). Di sana banyak dijumpai bukti arkeologis bekas kuil api seperti  di Bahrain yang kemudian diambil alih oleh Muslim di Hira (Morony 1986, 1110-1111). Ada suku-suku Arab di Hijaz yang condong ke aliran Mazdakite Zoroasterianisme pada masa Kobād I (488-496 dan 498-531 Masehi) dan  pada awal abad ke-6 (Kister1968, 143-144). Dengan demikian, orang-orang Arab tidak hanya memiliki kontak yang luas dengan Zoroasterianisme, tapi suku-suku tertentu tertarik dalam  dan memeluk Zoroasterianisme.namun seiring  Dengan penaklukan Muslim kepada beberapa wilayah di timur tengah dan meluasnya pengaruh islam membuat banyak penganut zoroaster memilih memeluk agama islam .

   
       Lebih lanjut mungkin hanya kegiatan arkeologislah   yang dapat membantu kita menemukan sisa-sisa struktur yang sakral dari era dimana banyak orang arab memeluk zoroastrianisme di Semenanjung Arab dan untuk mengarahkan kita ke lokasi penting dari Arab Zoroasterianisme Yang mungkin di masa depan. Baru-baru ini diidentifikasi sebagai kuburan "Sasanian" dari abad kelima atau lebih ditemukan di Sharjah di UAE (Kutterer et. Al., 2015, 43-54). Jadi, jika makam Persia yang ditemukan di Semenanjung Arab, struktur Zoroaster juga dapat ditemukan di sana. Tapi salah satu harus bertanya jika arsitektur suci Zoroaster adalah sama di Semenanjung Arab seperti yang di Dataran Tinggi Iran.lebih lanjut berikut adalah bukti dari hadis Berikut adalah salah satu seperti Hadis Sahih di mana Mohammad memberikan izin untuk Umar untuk mengumpulkan Jizya Pajak  dari Majusi [Para Pemeluk Zoroastria] dari Hajar, dalam bahasa Arab ... Sebuah indikasi yang jelas bahwa Zoroasterianisme tidak hanya diikuti di kekaisaran Persia, dan Iran yang hanya bagian dari itu ... tetapi juga di bagian Saudi yang berada di bawah pemerintahan otonom Mohammad yang islam. Lebih lanjut berikut isi hadisnya Abu Ubaid meriwayatkan hadits dalam kitab Al-Amwal dari Hasan bin Muhammad yang mengatakan : Nabi SAW pernah menukis surat kepada Majusi Hajar untuk mengajak mereka memeluk Islam, "Siapa saja yang memeluk Ilam sebelum ini, serta siapa saja yang tidak diambil jizyah atas dirinya, hendaknya sembelihannya tidak dimakan, dan kaum wanitanya tidak dinikahi. "

        Zoroastrianisme sendiri tak lenyap seluruhnya di Iran. Hingga kini, jumlah pengikutnya di Iran mencapai 20 ribu orang bahkan lebih diseluruh dunia penulis sendiri memeliki teman dari kalangan zoroastrianism di indonesia dan sering berdiskusi masalah teologi yang terkadang kalau kita membuka pintu dialog maka kita dapati bahwa banyak kekayaan ilmu yang selama ini tidak kita tahu . sebagai tambahan Dalam The Miracle 15 in 1 Syaamil Al-Qur’an disebutkan, Majusi adalah sebutan dalam Islam bagi penganut yang mengikuti agama Zoroaster (Zarathustra) dari Persia, Iran. Zarathustra merombak agama Indo-Eropa. Dewa-dewa diturunkan derajatnya menjadi sekadar malaikat, sementara Tuhan dianggap sebagai esa (satu), yakni Ahura Mazda.

Referensi

G.W. Bowersock, Empires in Collision in Late Antiquity, Brandeis, 2012

Y. Friedmann, Tolerance and Coercion in Islam: Interfaith Relations in the Muslim Tradition, Cambridge University Press, 2003.

J.M. Kister, “Al-Hīra, Some notes on its relations with Arabia,” Arabica  15 (1968): 143-169.

A. Kutterer, S.A. Jasim, E. Yousif, “Burried far from home: Sasanian graves at jebel al-Emeilah (Sharjah, UAE),” Arabian archaeology and epigraphy 26, 2015, pp. 43-54.
Morony, Michael G., “Madjus,” in Encyclopedia of Islam  5 (1986), 1110-1118.

Tabari, The History of al-Ṭabarī: The Sāsānids, the Byzantines, the Lakmids, and Yemen, translated by C.E. Bosworth, New York, State University of New York, 1999.



Kamis, 24 Desember 2015

KOREKSI DALAM MEMBACA SHALAWAT NABI








Bismillahirrahmaanirrahiim.
Ini adalah kajian sederhana, tidak rumit, tapi penting disampaikan.
Singkat kata, di masyarakat kita sering mendengar perkataan seputar Shalawat Nabi yang disampaikan para khatib, penceramah, dai, muballigh, moderator, MC, atau para penulis lewat tulisan-tulisan.
Dalam ucapan-ucapan Shalawat ini, KELIHATANNYA seperti BENAR, PADAHAL ada yang KELIRU, sehingga PERLU DIKOREKSI.
Shalawat Nabi sendiri di masyarakat kita rata-rata disampaikan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Arab.
Di antara bacaan itu ada yang sudah benar, tapi masih banyak yang keliru. Maka kita berbagi nasehat disini, untuk memperbaiki kekeliruan-kekeliruan yang ada, in syaa Allah.
Berikut ini beberapa bentuk kesalahan makna yang sering terjadi ketika membaca Shalawat Nabi :
[1]. Ada sebagian orang yang berkata: “Shalawat dan salam KITA PANJATKAN KEPADA Rasulullah Shallallah ‘Alaihi Wasallam, beserta keluarga, dan para Shahabatnya.”
KOREKSI: Kata-kata “kita panjatkan kepada” adalah kesalahan, sebab memanjatkan doa itu untuk Allah Subahanu Wa Ta’ala, bukan untuk selain-Nya. Kita tidak boleh berdoa kepada selain Allah, hatta itu kepada Nabi, Malaikat, maupun ulama besar. (Lihat Surat Al Mu’minuun: 117).
~~~~~~~~~~~~~
[2]. Ada sebagian yang lain berkata: “Shalawat dan salam KITA HATURKAN UNTUK Rasulullah Shallallah ‘Alaihi Wasallam, beserta keluarga, dan para Shahabatnya.”
KOREKSI: Kata-kata “kita haturkan untuk” atau “kita berikan untuk”, ini juga salah. Yang berhak memberi shalawat (sentosa) dan salam (selamat) kepada seseorang adalah Allah, bukan kita. Apalagi untuk memberi shalawat dan salam kepada Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam.
Kita tak punya kuasa apapun untuk memberi shalawat dan salam kepada orang lain, bahkan kepada diri kita sendiri. Lalu bagaimana bisa kita memberi shalawat dan salam untuk Rasulullah yang sudah wafat?
[3]. Ada lagi yang sering berkata -bahkan sangat sering- seperti ini: “Shalawat dan salam UNTUK JUNJUNGAN ALAM, Nabi Besar Muhammad Shallallah ‘Alaihi Wasallam, beserta keluarga, dan para Shahabatnya.”
KOREKSI: Kata-kata "untuk junjungan alam” ini keliru. Coba, kalau Anda ditanya, siapakah junjungan alam itu? Apakah Nabi Muhammad adalah junjungan alam? Bukan, beliau adalah hamba Allah dan Nabi-Nya.
Junjungan alam adalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Dalilnya adalah ayat dalam Surat Al Fatihah: “Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin” (segala puji bagi Allah selalu pemimpin, pemelihara, junjungan alam). Sebutan “junjungan alam” harus diubah; ia bisa diganti dengan kalimat: rahmat bagi seluruh alam. Karena ada ayat yang berbunyi: “Wa maa arsalnaka illa rahmatan lil ‘alamiin” [tidaklah Kami utus engkau (Muhammad) melainkan agar menjadi rahmat bagi seluruh alam].
[4]. Ada yang membaca: “Shallu wa sallim ‘ala Muhammad” (sentosa dan keselamatan semoga bagi Muhammad).
KOREKSI: Sebaiknya kalimat di atas diperbaiki dengan melibatkan Asma Allah di dalamnya, sehingga menjadi: “Allahumma shalli wa sallim ‘ala Nabiyina Muhammad, wa ‘ala alihi wa shahbih” (semoga Allah memberi sentosa dan selamat kepada Nabi Muhammad, keluarga, Shahabatnya). Dalilnya, para ulama kalau membaca Shalawat untuk Nabi mereka sering mengucap: Shallallah ‘Alaihi Wasallam. Disini selalu melibatkan Asma Allah, karena doa shalawat memang dipanjatkan kepada-Nya.
[5]. Ada juga yang membaca: “Allahumma shalli ‘ala sayyidina, wa syafi’ina, wa habibina, wa karimina, Muhammad, wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in” (ya Allah berikan sentosa kepada pemimpin kami, penolong kami, kekasih kami, orang yang mulia kami, yaitu Muhammad, beserta keluarga dan para shahabatnya).
KOREKSI: Sebutan Sayyidina masih ada perdebatan, sehingga tidak perlu dibahas disini.
Sebutan Syafi’ina (pemberi syafaat bagi kami), ini tidak tepat; sebab hakikat pemberi Syafaat adalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Dalilnya dalam Ayat Kursyi: “Man dzalladzi yasy-fa’u ‘indahu illa bi idznih” (dan siapa lagi yang bisa memberi syafa’at di sisi-Nya, jika tanpa izin-Nya).
Jadi pemberi syafaat bagi kaum Muslimin secara hakiki adalah Allah Ta’ala; kemudian Dia memberikan sebagian hak-Nya dalam hal ini (pemberian syafaat) kepada Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam.
Sebutan Habibina (kekasih kami); hal ini menuntut tanggung-jawab. Benarkah kita telah menjadikan Nabi sebagai kekasih kita? Jika benar, buktikan dengan komitmen mengikuti Sunnah-nya!
Sedangkan sebutan Karimina (orang yang mulia kami), sebenarnya sebutan ini sudah masuk ke dalam istilah Rasulina atau Nabiyyina; karena sebagai Nabi dan Rasul, kita pasti memuliakan beliau.
LALU BAGAIMANA CARA BACA SHALAWAT YANG LEBIH TEPAT ??
Contoh dalam versi bahasa Indonesia:
“Shalawat dan salam semoga Allah curahkan kepada Nabi kita, Muhammad, beserta keluarga dan para Shahabatnya.”
(Jadi Shalawat itu tetap ditujukan kepada Allah).
Contoh dalam versi bahasa Arab:
“Allahumma shalli wa sallim ‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in.”
(Disini kita memakai gelar Rasulullah di depan nama Muhammad; dan doa Shalawat ini tetap ditujukan kepada Allah).
Demikian beberapa koreksi seputar tata-cara membaca Shalawat Nabi yang berkembang di tengah masyarakat kita. Semoga kajian sederhana ini bermanfaat dan bisa diamalkan. Amin Allahumma amin. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.

Senin, 14 Desember 2015

ERA BARU IMM IAIN RADEN INTAN LAMPUNG

                                         (nanang nurhidayat tengah mantan ketua umum imm iain)


  “Ber IMM IAIN Raden Intan Lampung itu sederhana, tapi dengan kesederhanaannya ia mampu membuat kita semua bahagia” itulah kalimat yang di sampaikan Umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah IAIN Raden Intan Lampung, pada 12 Desember 2015, bertempat di komplek panti asuhan Muhammadiyah Sukarame, Bandar Lampung, pada pembukaan MUSYKOM (Musyawarah Komisariat) lalu, dengan mengusung tema “Melalui MUSYKOM kita tingkatkan soldaritas, spritualitas dan karakteristik kader Ikatan”  dengan  di bukanya MUSYKOM tahun ini oleh Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Bandar Lampung, berarti berakhirlah sudah massa kepemimpinan periode 2014-2015 yang di ketuai Oleh IMMawan Nur Hidayat dari fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung ini di harapkan dapat memberikan manfaat yang baik di kemudian hari,

   Satu tahun berlalu adalah waktu yang relatif sempit sehingga dengan waktu yang sangat terbatas tersebut Ia Beserta jajaran telah berusaha mengusahakan yang terbaik untuk terciptanya  stabilitas dan kemakmuran sua sembada kader di lingkungan IAIN Raden Intan Lampung, hal ini di  buktikan dengan jumlah rekapitulasi kegiatan yang telah pimpinan laksanakan sebanyak 99 kegiatan dan dengan di tutupnya MUSYKOM 2014-2015 tersebut genaplah 100 kali kegiatan yang telah pimpinan periiode 2014-2015 laksanakan, di antaranya ialah diskusi interakti bersma BEM STEBANK Mr.Sjafrudin Prawira Negara dan OKP yang ada di lingkungan IAIN Raden Intan Lampung bertempat di Gedung Dakwah Muhammadiayah Provinsi Lampung, hal ini tentunya menjadi prestasi dalam suatu Organisasi Kepemudaan yang pernah ia geluti sebagai pemimpin muda setingkat kampus. Apresiasi yang luar biasa juga di sampaikan oleh ketua cabang Ikatan Mahasiswa Muahammadiyah Kota Bandar Lampung bahwa Komisariat yang paling berhasil di Kota Bandar lampung tahun ini Ialah Komisarit IMM yang ada di IAIN Raden Intan Lampung sebagai penggawang utama masifnya suatu pergerakan di dunia kemahasiswaan.



    kontribusi Imm radin intan meskipun kelihatan kecil namun sudah memberikan dobrakan yang luar biasa pada dunia intelektual di IAIN radin intan khususnya dan kampus lain pada umumnya karena tidak jarang selama periode kepemimpinan sebelumnya IMM IAIN RADIN INTAN sudah mengadakan berbagai macam diskusi dan forum intelektual dimana mengundang mahasiswa dari lintas kampus dan lintas organisasi. denga berakhir periode sebelumnya tidak menjadikan IMM IAIN Raden intan lampung mati ataupun vakum karena hal ini dibuktikan dengan mengaktifkan 5 komisariat di 5 fakultas yang pastinya akan menjaring lebih banyak kader yang intelektual sekaligus militan. 
           



      Berikut daftar pengurus IMM KOMISARIAT IAIN yang dipecah 5 

pemimpin-pemimpin muda yang terpilih adalah:


1. Ketua Umum Koordinator Komisariat IAIN RIL  : kakanda Hari Saputra dengan sekretarisnya Ayunda Nuraini Nadhiroh

2. Ketua Komisariat Dakwah dan Informasi : kakanda Hgi Jlio Salas dan Sekretarisnya kakanda Yudi Trisno Wibowo

3. Ketua Komisariat FEBI dan Syariah : Ayunda Luthfiani Islami Sholeha dan sekretarisnya Gifta Alviana

4. Ketua Komisariat Tarbiyah dan Keguruan: kakanda M. Khirul Anam dan Sekretarisnya ayunda May Faridah

5. Ketua Komisariat Ushuluddin : ayunda Rafita Sari dan sekretarisnya ayunda Albadri Luthfiyani

   IMM RADIN INTAN LAMPUNG bisa lebih memasifkan gerakan intelektualitas kampus yang sekarang sedang dalam proses pematian karena timbulnya berbagai macam paham dari apatisme sampai hedonisme tugas imm selanjutnya untuk bagaimana bersinergi,berpikir, dan berkonsolidasi untuk membawa IMM radin intan lampung kedepannya berjalan tidak hanya pada tingkat lokal tapi nasional bahkan harapan besar adalah internasional. tidak mustahil jika disertai dengan konsistensi,intelektualitas, dan  religusitas.

   Semoga segala pengorbanan dan rasa lelah yang terjadi pada malam tadi mebuahkan hasil yang benar-benar medapatkan RIDHO ALLAH. Sehingga para pemimpin muda yang telah terpilih menjalankan amanah dengan  sebenar-benarnya berlandaskan AL-QURAN dan AS-SUNNAH. selain itu, terjalinnya ukhuwah yang erat semoga semakiin terasa hingga tidak bersekat sedikitpun jalinan kasih sayang yang terjadi antar saudara.

#IMMIAIN_RIL #MUSYKOMIMM_IAINRIL
#IMMUM_LAMPUNG #IMMBANDAR_LAMPUNG

LETS JOIN WITH US 

Jumat, 11 Desember 2015

TERIMA KASIH TERUNTUK MALAIKAT TAK BERSAYAP

Untuk ibu yang tidak pernah LELAH
Untuk ibu yang  cintanya tak pernah berakhir
Untuk ibu yang selalu sangat  peduli
Untuk ibu selalu memberi kehangatan  pada jiwa
Untuk ibu yang selalu membuat kita bahagia
Untuk ibu yang  membuat kita ebih baik daripada yang lain
Untuk ibu yang selalu memberikan pelukan terbaik  
Untuk ibu yang selalu mendoakan untuk yang terbaik
Mungkin tidak akan ada karya yang bisa mengambarkan apapun pemberiannya,kepeduliannya, dan pengorbannya
                 Terima kasih IBU...
untuk cinta, kekuatan, dan kepedulian yang indah dan berarti
yang kau hadirkan didunia ini
                           terima kasih ibu
untuk selalu ada disetiap waktu ketika anakmu terluka
mendengarkan cerita apapun dari anakmu meskipun
hal itu terburuk sekalipun
kau adalah psikolog dan motivator yang terbaik yang pernah ada didunia
                                terima kasih ibu
dengan kesabaranmu kau bimbing langkah pertamaku didunia
dengan kelembutan suaramu kau ajarkan bagaimana ku berbicara
kau adalah yang pertama mengajarkan makna hidup didunia
mengajarkan tentang arti sebuah pemberian
mengajarkan tentang  moral 
yang menjadikanku lebih  peduli sesama
dan tidak diam melihat sebuah penindasan dan pengkhianatan

                      terima kasih ibu
untuk waktu, tenaga, bahkan air mata yang tercurah
untuk setiap usahamu menjadikanku yang terbaik
namun
beribu maaf juga harus ucapkan padamu
maaf ketika aku tak selalu sesuai harapanmu
maaf ketika kata yang kau ajarkan justru ku pergenukan untuk menyakitimu
maaf ketika  cara berjalan yang kau ajakarkan ku pergenukan untuk menjauhimu
maaf ketika cinta  yang terdalam yang kau beri ku abaikan demi sebuah cinta ego
maaf ketika waktu yang kau habiskan ku balas dengan sikap acuhku disaat kau membutuhkan
maaf ketika rasa rindumu kuabaikan demi hasratku mengejar kepalsuan dunia
maaf ketika  pemberianmu kubalas dengan caci maki tak tak tahu diri
Maaf ketika keadilan yang kau ajarkan kuberikan kubalas dengan ketidakadilan
                    namun seribu kesalahku kau balaskan dengan doa terbaikmu
karena hatimu yang begitu suci untuk tak tega
membiarkan anakmu mendapatkan penghakiman tuhan
                      
                 Terima kasih IBU,
Untuk segala sesuatu yang telah anda  lakukan,
Terima kasih IBU,
Untuk membuat setiap hari begitu menyenangkan
Terima kasih IBU,
Untuk memberikan segala bekal terbaik untuk perjalanan hidupku ,
Terima kasih IBU,
Untuk tersenyum setiap hari memberi semangat meskipun lelah .
                      
Terima kasih IBU,
Karena selalu ada,
Terima kasih IBU,
Untuk menunjukkan begitu banyak kepedulian

Terima kasih IBU,
Kau yang terbaik,
Terima kasih IBU,
Karena kau tidak seperti yang lainnya.

Jadi hari ini begitu istimewa,
Karena kau begitu istimewa juga,
Hanya ingat satu hal,
Bahwa aku mencintaimu. Dan akan
Melakukan yang terbaik yang kau ajarkan

                      
                

          
                

                    

                  

Selasa, 08 Desember 2015

Building Your Inner Peace on a Chaotic World (Original)

         


     As Buddha says, "Happiness does not depend on what you have or who you are. It solely relies on what you think." These words absolutely hit me home. It reminded me of one of the most nerve-wracking moment of my life. I grew up in a chaotic family. There were fight and tears everyday at my childhood home. However, the worst of all was my father. He had a mentally and emotionally abusive behavior. It was so obvious that he had a lot of rage bottled up inside and it oozed up whenever he wished. His sayings were so heartbreaking. Because of his temper, I had to work so hard to do my best at school. Nonetheless, he was not pleased. He was still negative. His temper has been tampering my inner peace of hearts and minds. As a result, I was stressed out, had negative thoughts, away from peace, and had a low level of self-esteem.

       Years went by, my silver linings came by. I realized to just let him be. Later on, I learnt that his abusive manner was all caused by unresolved issues he had. His abusive manner was a wake-up call for me to work on my inner peace. I figured out that I could get my own peace by just stop thinking negatively about anything. I let myself to feel and immersed into the present. After such a long time, my inner piece I built for my hearts and minds came fruitful. I become happy and oozing a beatifically presence to everyone I meet. I also start doing good things for me and my community. The peace helps me to be a better person on a chaotic world.

You might wonder this question, "What does building inner peace of hearts and souls mean for all of us?" From my experience, I could tell that by building your inner peace means you release all of the negativity in your head. As a result, you are becoming a brand new and positive person.



Being peaceful in hearts and minds also means that we successfully practice mindfulness. By being mindful, you live and accept every sensation happening in the present. You are aware that the more you think negatively, the more you lose your sense of peace. Moreover, you will keep your peace.

By being building your peace in hearts and minds it also means that you contribute to society. You contribute for better condition of people's life. By contributing to your community, you will see different things happening from every angle. You will meet people of every walk of life. It will open your mind, stop your biased preconceived notions, and make you compassionate of other people. Finally it gives you peace because you can share your pain and make it a priceless lesson for anyone who might hear your story.

By constructing your peace from scratch, you are able to learn and grow as an individual that has loving attitude, high empathy and compassion which is good for the world. The world gets more chaotic because of lacking of peace inside of the hearts and minds. Once we feel peaceful, we would be able to contribute the world our piece of peace that we have been working on. We would preach the world that by working on your peace helps you to resolve your unfinished issues. Moreover, we will get better on everything we do because we become more careful on doing something. Therefore, we also will transform this sad and chaotic world to be a friendlier place for creating better environment of every aspect of living creature's life. We will get our problem solved by having peace in mind. We will stop acting foolish because we are settled to think peacefully and carefully.

As we can conclude that we have to let go of everything out of our control, go on mindfulness-mode, and give the world contribution from our peace. The most important is that by building your peace in your hearts and minds, you contribute for the creation of better world. My last words for you would be: "Let it go and be peaceful."

Reference

My own experience
My own drawing (for the illustrations)

Being a good ethical reasoner

Plato was Wrong (about this at least): Being a Good Ethical Reasoner.

All of us reason about ethical matters all of the time. We do so when we decide whether to tell the shopkeeper he has given us too much change; when we assess a political argument about whether our country should offer health care to non-citizens; when we decide whether to tell a small (or large) lie, and so on.

What does good ethical reasoning about such matters involve? Mainly, just good logical and critical thinking skills focussed on ethical issues.

Good ethical reasoning calls upon us to give reasons for doing and believing things, to construct arguments – for vegetarianism or the legalization of euthanasia for instance – and to assess the arguments of those with whom we agree or disagree. This is not to say that I must articulate a complex moral theory or even identify a moral principle that I am following. Recognising the need for reasons and arguments, however, allows us to see that some responses won’t do.

I cannot offer mere prejudices in support of a moral position, for instance, because a mere prejudice is precisely a belief that is not supported by reasons.
Similarly, mere emotional reactions will not count as reasons. If all I can say in support of my claim that business is wicked is that business disgusts me or makes me furious, I am not offering a reason that would show my position to be an ethical position. (This is not to say that ethical positions should be unemotional or dispassionate. On the contrary, we should care about our moral views. But emotional reactions should be prompted by or grounded in moral judgments and not vice versa.)
And if my position is based upon propositions of fact which are not only false but so implausible that they fail even the minimal standards of evidence I impose upon others, I will likely not be offering reasons but instead showing that I can think of no genuine reasons for my position at all.
Prejudices, purely emotional responses, and empirically implausible positions are not the only sorts of reasons that are unacceptable in moral discourse – blind appeals to authority may well go on the list as well – but they will be enough to give a sense of the constraints posed by the requirement for reason giving.

Once we have allowed a place for reasons in moral discourse we can see that there will be other, more general, restraints as well. Perhaps most importantly, the role of reasons imposes a constraint of consistency. Consistency requires that if there are exactly the same reasons in support of one course of action as there are in support of another, then those actions will be equally right or equally wrong – they will be equally well supported or undercut by reasons. If I object to racism on the grounds that ‘all people are equal’ then I must also object to those manifestations of other prejudices, such as sexism, that deny that principle: If I do not then it will seem that in one or other or both of the cases I am not really accepting ‘all people are equal’ as a reason at all. My position will not in fact be based on the reason or reasons I cite.

Recognizing the role of reasons and reasoning in ethics allows us to give an account of good ethical reasoning.  Good ethical reasoners must be able to reason logically, to avoid fallacies and inconsistencies, to clarify and analyze concepts, to construct and assess arguments and positions.

They require a certain body of knowledge, knowledge of the assumptions, consequences, and criticisms of different positions or views; knowledge of types of arguments, and likely problems (e.g., fallacies like false dichotomy or ambiguity of scope).

They must be committed to certain values associated with good reasoning, such as commitment to understanding issues and views, commitment to reasoned support and evaluation of beliefs or claims, willingness to question key assumptions and challenge received wisdom, and interest in finding solutions to philosophical questions and problems.

These values are a significant part of the good ethical reasoner’s arsenal because they amount to a commitment to apply the reasoning skills noted above. Being able to recognize fallacies and inconsistencies will be of no value to the person reasoning about ethical matters if she is not prepared to follow those skills where they lead.

And good ethical reasoners must be well informed about the relevant facts of the cases they consider. They must have enough knowledge of the subject area and the case at hand to appreciate the demands and problems that are either peculiar to or commonly encountered in that area.

In sum, good ethical reasoners are people who are skilled at a certain form of reasoning, who have at their fingertips a body of relevant knowledge, and who are committed to using their skills and knowledge.

Note that there is nothing in this characterisation to suggest that the good ethical reasoner has unique access to the moral truth. Plato argued that philosophers should rule because they had ‘‘the capacity to grasp the eternal and immutable . . . to which they can turn, as a painter turns to his model, before laying down rules in this world about what is admirable or right or good”, but no one has thought so since!

The good ethical reasoner sketched above is a more mundane character. Recognising the way in which moral positions depend upon reasoned support, she is skilled in constructing and assessing such support. Her skill and contribution does not depend upon her grasp of anything like ‘eternal and immutable moral truths.’ Rather, it is grounded in more accessible standards of reason and argumentation, standards of the sort one might learn in a course on logic and critical thinking.

Senin, 07 Desember 2015

Apa yang dimaksud pemikiran logis dan kritis?

       
      Kita terus-menerus memberikan alasan untuk segala hal yang kita lakukan  dan percaya akan hal yang kita lakukan : untuk percaya bahwa kita harus membeli produk ini , mendukung suatu penyebab ini dan itu , menerima pekerjaan ini dan itu , menilai seseorang tidak bersalah atau bersalah, ,dan sebagainya. Menilai alasan kita diberikan untuk melakukan atau percaya hal-hal ini menyerukan kepada kita untuk berpikir kritis dan logis. Mungkin mengejutkan, bagaimanapun, orang tidak pandai berpikir logis dan kritis. Tidak peduli seberapa pintar atau berpendidikan kita, atau apa yang berjalan  dalam hidup kita  kita semua selalu mudah disesatkan oleh hambatan psikologis umum yang disebut kekeliruan penasaran. 

        Dalam artkel singkat ini saya akan menjelaskan beberapa hambatan yang kadang menimbulkan kekeliruan penalaran:
-           Bias konfirmasi - ketika kita cenderung untuk hanya mempertimbangkan kejadian yang sedang kita alami.

-          Heuristik –jalan pintas mental untuk mengambil suatu keputusan 

-          framing terdiri satu set konsep dan perspektif teoritis tentang bagaimana individu, kelompok, dan masyarakat mengatur, memahami, dan berkomunikasi tentang realitas. Framing melibatkan konstruksi sosial dari fenomena sosial - oleh sumber media massa, gerakan politik atau sosial, pemimpin politik, atau aktor dan organisasi lainnya.

-         Kekeliruan umum (common fallacies) - beberapa cara umum kesalahan penalaran yang kita anggap sebagai kebenaran hanya karena banyak yang bilang itu benar 
           

REGENERASI POLITISI HANDAL DARI KAMPUS


Dunia politik di Indonesia cenderung kotor dan jahat, karena sering menghalalkan semua cara untuk medapatkan kekuasaan. Dan cermin perpolitikan di negeri ini sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari pola politik yang terjadi di dunia kampus, karena rata-rata politikus nasional saat ini adalah mereka yang sebelumnya aktif berpolitik di kampus. Pentingnya belajar berpolitik dikampus dengan alasan bahwa politik kampus sangat menentukan baik dan buruknya perpolitikan di Indonesia karena kampus merupakan tempat persemaian politisi muda yang nantinya akan menjadi generasi penerus perjuangan bangsa ini.

Dinamika perpolitikan yang terjadi di lingkungan kampus memang menarik untuk dijadikan bahan kajian. Konflik dan persaingan yang sering muncul diantara mahasiswa, justru menjadi nilai penting sebagai sarana pendewasaan mahasiswa dalam berpolitik, baik sewaktu masih menjadi mahasiswa maupun setelah lulus. Sistem politik yang dijalankan di kampus memang tidak sekompleks sistem politik yang berjalan di negeri ini, akan tetapi setidaknya politik yang diterapkan mahasiswa dapat dijadikan cermin bagaimana perpolitikan bangsa Indonesia.  

Yang menjadi perbedaan secara fundamental (mendasar) antara politik kampus dengan politik yang dijalankan oleh politikus negeri ini adalah soal orientasi (tujuan). Jika politikus negeri ini berpolitik untuk mendapatkan kekayaan dan kekuasaan.  Sedangkan politik kampus dilaksanakan lebih sebagai sarana untuk mewujudkan eksistensi dan aktualisasi dari mahasiswa. Selain itu politik kampus lebih dijadikan sebagai wahana pembelajaran bagi mahasiswa untuk mengenal lebih dalam mengenai dunia perpolitikan.

Kampus merupakan lahan subur yang sangat penting untuk melakukan pengkaderan, terutama dalam bidang politik. Mengingat mahasiswa merupakan golongan intelek yang memiliki potensi keilmuan, wawasan, serta pengalaman yang cukup baik dalam masalah politik. Mahasiswa yang teguh memegang idealismenya biasanya akan menjalankan politik kampus dengan penuh rasa tanggungjawab, bahkan setelah lulus dan menjadi seorang politikus mahasiswa tersebut tetap akan berpolitik dengan membawa visi kerakyatan.

Hal inilah yang sesungguhnya diharapkan oleh masyarakat Indonesia, dimana akan lahir politiukus muda yang berasal dari seoarang mahasiswa yang selalu akan menyuarakan aspirasi dan membela kepentingan rakyat. Idealisme yang dimiliki saat menjadi mahasiswa diharapkan akan tetap dibawa sampai mahasiswa yang bersangkutan menjadi seorang pejabat, baik tingkat lokal, regional dan bahkan nasional. Apalagi bagi mereka yang menyadari bahwa jati diri sebagai agent of social change (agen perubahan sosial) tetap akan melekat dalam dirinya hingga akhir hayat. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, apakah praktek politik yang dilakukan mahasiswa di kampus benar-benar mencerminkan integritas kaum intelektual tersebut kepada rakyat? 

Jika politik kampus dapat dijadikan sebagai wahana pembelajaran mahasiswa dalam pendewasan diri dalam berpolitik serta demi kepentingan rakyat maka hal tersebut patut untuk didukung. Akan tetapi jika politik kampus hanya dijadikan sebagai batu loncatan mahasiswa untuk menjadi politikus nasional, dan untuk meraih kekuasan serta materi semata, maka hal tersebut bisa menciderai visi kerakyatan yang selalu diemban oleh mahasiswa. Oleh sebab itulah, langkah tersebut tidak patut ditiru.

Dalam dunia mahasiswa, politik kampus merupakan sarana efektif bagi mahasiswa untuk mengaktualisasikan diri serta menunjukkan eksistensinya ke dalam lingkungan kampus secara umum. Politik kampus juga dapat memberikan manfaat bagi mahasiswa, karena dengan adanya media tersebut mahasiswa dapat memiliki fungsi dan peran yang jelas dalam setiap gerakannya. Selain itu, politik kampus sesungguhnya merupakan media pengkaderan pergerakan mahasiswa yang bertujuan untuk mencetak kader yang tangguh.

 Satu hal yang patut diapresiasi dari praktek politik kampus, yaitu mahasiswa tetap teguh memegang idealismenya. Berpolitik merupakan hal yang sangat manusiawi dan wajar, begitu juga bagi mahasiswa. Yang terpenting adalah dalam berpolitik harus tetap memegang teguh etika, moral, nilai-nilai dan aturan yang berlaku. Karena hanya dengan hal inilah akan dapat terlaksana perpolitikan yang benar-benar jujur dan bersih.

Mahatma Ghandi pernah mengatakan bahwa setiap tujuan yang ingin dicapai harus selaras dan seimbang dengan metode dan tata cara yang dilakukan. Mustahil hasil dari tujuan dinilai baik jika metode yang digunakan adalah dengan jalan yang buruk. Mungkin itulah yang dimaksud dengan politik yang ”bersih”. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Plato bahwa politik adalah seni mempengaruhi orang lain dengan kecerdikan dan kecerdasan, bukan dengan keculasan dan kebohongan serta cara-cara keji yang menghalalkan segala macam aturan demi meraih keinginanya.

penulis : Sahru Romadon ketua umum pc imm kota Bandar Lampung dan Penggagas forum faskho 

Sabtu, 05 Desember 2015

MEMAHAMI ISMAEL DARI KAJIAN YAHUDI

     

      Membaca teologi yang membahas soal yahudi-kristen-dan islam dari sudut pandang yang sangat analitis karena dengan memahami dari sudut pandang analiti kita bisa lebih tahu secara dalam sebuah keimanan yang bukan hanya terbatas pada ritual tapi intelektual  selalu menarik didalam referensi judeo-rabinik sebagai intelektual yang belajar berbagai kajian teologi dari berbagai sudut pandang suatu hal yang menarik ketika membaca litelatur yahudi awal menyatakan bahwa  Tuhan membuat dua belas anak Ismail sebagai dua belas pemimpin / pemuka (shneim 'asar Nesīim, Kejadian 17:20), tetapi Tuhan tidak pernah membuat dua belas orang Israel (Yakub) sebagai Nesīim (pangeran), hanya dari keturunan mereka yang akan dipanggil Nesīei Yisrael shneim 'asar (dua belas pemimpin Israel, Nomor 1:44), seorang pria dari setiap suku, setiap kepala rumah nenek moyangnya; seperti Elizur dari Ruben, Selumiel Simeon, Nahashon Yehuda, Netaneel Isakhar, Eliab Zebulon, Elisama dan Gamaliel Yusuf, Abidan Benyamin, Ahiezer Dan, Pagiel Asyer, Elyasaf Gad, dan Ahira Naftali (Nomor 1: 4-16). Lihat ini kode numerik Semit dari  Pemimpin Israel dan Ismael.

Pemimpin Israel
1. Elizur
2. Selumiel
3. Nahason
4. Netaneel
5. Eliab
6. Elisama '
7. Gamelīel
8. Abidan
9. Ahī'ezer
10. Pag'īel.
11. Elyāsāf
12. Ahira

Pemimpin ismaelit
1. Nebayot (נְבָיות)
2. Qedar (קֵדָר)
3. Adbeel (אַדְבְאֵל)
4. Mibsam (מִבְשָׂם)
5. Mishma '(מִשְׁמָע)
6. Duma (דוּמָה)
7. Massa (מַשָׂא)
8. Hadad (חֲדַד)
9. Teima (תֵימָא)
10. Yethur
11. Nafīsh (נָפִישׁ)
12. Qedmāh (קֵדְמָה)

         Hayim Shachter, seorang sarjana Yahudi Sephardic mengatakan bahwa kata-kata Ibrani modern (dikenal sebagai bahasa Ivrīt), seperti nasi atau Nesi (presiden), Nesīūt (presiden / presidium), dan Nissa (tinggi, tinggi, mulia) yang berasal dari sama batang, NASA yang berarti 'untuk menyenangkan seseorang, atau' untuk meningkatkan suara seseorang '. [1] Lainnya, baik sarjana Kristen Barat, William F. Arndt dan F. Wilbur Gingrich juga mengatakan bahwa kata-kata Ibrani Masoretik, Nesi (pangeran) , Nesīei atau Nesīim (pangeran) yang berasal dari akar yang sama, NASA (membangkitkan).

        Kemudian, kata-kata ini merujuk pada 'satu mulia', yaitu penguasa, raja, atau kepala yang memerintah orang, demikian juga kata-kata Melekh (raja), Malkhan kami Melakhīm (raja) yang secara etimologis berasal dari akar yang sama, malakh ('memerintah', 'untuk memimpin', dan 'memerintah'). [2] Hal ini menunjukkan bahwa kata-kata bahasa Ibrani memiliki referensi umum, yaitu orang yang memerintah masyarakat, yaitu 'Pemimpin' dari suku atau bangsa. Penulis berpikir bahwa itu benar secara semantik jika kata Ibrani, Nesi secara harfiah diterjemahkan sebagai 'Penguasa', atau 'Pemimpin', seperti Nesi ha-ummah (pemimpin bangsa), yang ummotam Nesīim (Pimpinan negara), Nesi ha-shebeth (Pemimpin suku), dan Nesīim shebetīm (Pemimpin suku). Menariknya, Quran juga menegaskan bahwa Abraham adalah seorang Imam ('Leader'), dan kata ini Arab, imam (pemimpin) memiliki serupa semantik dengan kata Ibrani, Nesi (Leader).

وإذ ابتلى إبرهم ربه بكلمة فأتمهن قال إني جاعلك للناس إماما قال ومن ذريتي قال لا ينال عهدى الظلمين.
سورة البقرة ۲׃۱۲۴

Wa izdibtalā Ibrāhīm Rabbuhū bi-kalimātin fa atammahunna qāla inni jā’iluka lin-nāsi Imāma, qāla wa min dzurriyyatī qāla lā yanālu ‘ahdiy al-dhālimīna. (Arabic Quran, al-Baqarah 2:124).

וכאשר ניסה אלוהים אד אברהם בדברים ועמד בהם עד תום, אמר הווי שמך נשיא ל אמתם - אנושים, אמר ומזרעי, אמר אין בריתי משגת את המריעים. אל-בקרה ב:קבד

Ve ka-asher nisah Elohim et Avraham be-devarīm ve emed behem ‘ed tom, amar hinnenī shemekha Nesī le-ummotam (enosīm), amar u-mezre’i, amar ein berītī me-sheget et ha-merī’īm (Hebrew Quran, al-Baqarah 2: 124).[3]

Şunu da hatırlayın ki, bir vakit Rabbi, İbrāhim’i bir takım kelimelerle imtihan etti. O, onları tamamlayinca Rabbi: “Ben seni bütün insanlara Önder yapacağim” buyurdu. İbrāhim: “Rabbim, zürriyetimden de yap” dedi. Rabbi ise: “Zalimler Benim ahdime nāil olamaz” buyurdu. (Turkish Quran, Bakara Sūresi 2:124).[4]
in english  "Recall also that, at one time I did try some of the words Lord. He complement them by the Lord: "I will make you leader of all people" he said. Abraham said: "My Lord, my offspring do well," he said. The Lord says: "Cruel My covenant not to nail" said. (Turkish Qur'an, Sura al-Baqara 2: 124). [4]

      Kata Onder (lit. 'pemimpin') dalam leksikon Turki, menurut Hüseyin Vatan, mengacu pada istilah leaderhip, önderlik / öncülük dalam leksikon [5] Turki, dan kata itu juga bahasa yang digunakan oleh EM Hamdi Yazir untuk mewakili kepemimpinan Abraham. Dalam teks bahasa Arab Al Quran, Allah akan Abraham sebagai 'Pemimpin kepada bangsa-bangsa' (li-nnāsi imamah).
      Oleh Yahudi-Muslim, judul Ibrahim ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani sebagai Nesi le-enosīm (אנושים נשיא ל) atau Nesi le-ummotam (נשיא ל אמתם) yang berarti 'Pemimpin bagi bangsa-bangsa' serta judul Ibrahim dirinya sebagai Nesi le-goyim (Kejadian 17: 6; 23: 6) dan gelar Ismael sebagai Nesīim le-ummotam (Kejadian 25:16) di Masoret Taurat.
    Namun, baik Yahudi-Muslim dan Arab-Muslim benar-benar tahu bahwa enosīm dalam bahasa Ibrani dan Annas di Arab adalah 'kata benda maskulin jamak', berasal dari bahasa umum dari bahasa Semit. Orang-orang Arab juga tahu bahwa kata-kata Arab, umamā (bangsa), umat (bangsa), dan Imam (pemimpin) yang berasal dari batang yang sama, umm (ibu), demikian juga orang-orang Yahudi tahu bahwa kata-kata bahasa Ibrani, ummotam (bangsa) , dan umat (bangsa), yang berasal dari akar yang sama yaitu emm (ibu).
         Dalam studi filsafat bahasa, kedua kata Semit, ummotam dan umamā menyatakan bahwa asal-usul 'negara' yang biologis lahir dari benih (zara ') dari' ibu. 'Jelas, ini bukti filologi benar-benar juga didukung oleh kitab suci teks linguistik dari Masoretic Taurat. Negara Sarah, istri pertama Abraham akan menjadi (haytah le-Goyim, Kejadian 17:16), demikian juga untuk Hagar, istri kedua Abraham, Allah akan melipatgandakan benih nya. Tuhan berkata, va yomer lah malakh Yehvah harbah arbeh et zar'ekh ve lo yissafer merov (dan malaikat Tuhan berkata kepada dia, saya akan memperbanyak keturunanmu sangat, bisa baca dalam  Kejadian 16:10) . Allah berfirman kepada Abraham juga, yang dalam bahasa ibrani " gam et ben ha-amah le-goy asīmenu Ki zar'ekha HU tentang nubuatan Tuhan akan mengaruniakan sebuah bangsa yang besar ini bisa dibaca di Kejadian 21:13).
       Dalam konteks ini, pada kenyataannya, Allah akan membuat kedua wanita sebagai emm le-goyim atau emm le-ummotam (ibu dari bangsa), serta Allah telah berjanji kepada Abraham dirinya menjadi ab hamon goyim (bapa banyak bangsa, Kejadian 17: 4). Namun, untuk mengenali hubungan antara Ibrani dan Arab tentang Ibrahim dan  Abraham, kita harus memahami kata-kata Semit umum pada Kitab Suci Ibrahim (Taurat Ibrani dan Arab Quran) relatif; (i) Ibrani Masoretik kunci-kata, Nesi, Nesīim, Goyim, ummotam, dan enosīm, (ii) kata-kata bahasa Arab Al Quran, Imam dan Annas. Juga, narasi tekstual Quran, yang menggunakan istilah-istilah bahasa Arab, UNAS, umat dan Imam (lihat Qs 2: 124.128; 17:71), pada kenyataannya, jelas menggambarkan 'titik pertemuan' antara imam-ummah dalam Quran dan Nesi-nesīim-ummotam dalam Taurat.
         Jelas, dalam teks bahasa Arab Al Quran, Imam adalah pemimpin bangsa (umat, pl umam.), Serta Nasīim adalah pemimpin dari bangsa-bangsa (ummotam) dalam teks Ibrani Masoret. Keempat, Allah membuat dua belas anak Ismael sebagai Princes nasional atau Pemimpin nasional (Nasīim ummotam, Kejadian 25:16), tetapi dari benih belas anak Israel, Tuhan hanya membuat dua belas suku Princes (Nesīei ha-mathot, Nomor 1:16; 7: 2).
    Kelima, Allah akan membuat anak-anak Ismael, dua belas negara (sheneim 'asar ummotam, Kejadian 25:16), tetapi untuk anak-anak Israel, Tuhan hanya akan membuat mereka dua belas suku (sheneim' asar shibthei, Kejadian 49:28). Kata-kata Ibrani seperti pernyataan Quran, ISTN 'asharata asbāthā (dua belas suku). Quran mengatakan, wa qaththa'nāhum itsnā 'asharata asbāthā umamā (dan Kami dibagi Israel menjadi dua belas suku bangsa sebagai, lihat al-A'raf 7: 160)
    Dalam Quran, penggunaan kedua istilah bahasa Arab, asbāthā dan umamā (bernyanyi diatas  ummah.) Yang acuh tak acuh; tetapi dalam Taurat, penggunaan kedua istilah Ibrani, shibthei dan ummotam (bernyanyi. ummah) yang berbeda. Dengan demikian, dalam terang Taurat, kebesaran belas suku (shneim 'asar shibai) Israel adalah seperti kebesaran satu bangsa (ehad umat) dari dua belas negara (sheneim' asar ummotam) Ismail. Dan, itu menunjukkan bahwa gadol goy dari Ismael adalah terbesar dari gadol goy dari Israel.
     Oleh karena itu, dua belas pemimpin dari  Ismail (sheneim 'asar Nesīim ummotam Yishme'elīm) adalah laki-laki yang megah dari dua belas pemimpin suku dari Israel (shneim' asar Nesīi shibai Yisraelīm). Jelas, dalam teks Masoret Taurat, Ibrani kata, umat dan goy (lit. 'bangsa') mengandung banyak suku (shibai / shebethīm), dan umat (goy) itu sendiri adalah yang terbesar dari shebet (suku). Dalam bukti Alkitab, pada kenyataannya, orang-orang Israel disebut sebagai goy (bangsa), dan bukan sebagai Goyim (bangsa). Mazmur 83: 5 jelas menggambarkan, amerū lekhu  nakhhīdem mi-goy pernah OD lo yizakher shem Yisrael '(mereka mengatakan, datang, dan mari kita memotong mereka menjadi bangsa; bahwa nama Israel mungkin tidak lebih dalam mengingat ) lebih jelasnya baca ayat mazmur 83:5.


REFERENCE

[1] Hayim Shachter, The New Compact Dictionary: Hebrew-English and English-Hebrew (Tel Aviv: Yavneh Publishing House, Ltd.,1995), p.177

[2] William F. Arndt and F. Wilbur Gingrich, A Greek-English Lexicon, op.cit., pp.67, 81

[3] H.S. Abbasi, ha-Qur’an ha-Mafor: Pesiqim Nevatrim (London: Islam International Publications, Ltd, 1988), p. 11

[4] Elmali’li Muhammed Hamdi Yazir, Kur’ān-i Kerīm ve Yüce Meāli ( Istanbul: Huzur Yayın Dağıtım Pazarlama Tic. Ltd. Şti., 1994), p.18

[5] Hüseyin Vatan, Redhouse Elsözlüğü: İngilizce-Türkçe Türkçe-İngilizce (Istanbul: SEV Matbaacılık ve Yayincılık Eğitim Tic. A.Ş., 2007), p. 154









                 

Jumat, 04 Desember 2015

Apa sih politik rekonsialisasi?

    Beberapa waktu lalu sebuah sidang di gelar di Den Haag belanda soal korban tragedi 1965,peradilan itu bernama TRIBunal sebuah konsep peradilan yang digagas oleh Bertrand Russel dan merupakan peradilan yang tidak resmi namun memiliki efek yang bisa memberi pengaruh pada pemerintah dalam persidangan selalu disinggung soal rekonsilasi jelas bukan sekali dua kali kita mendengar dan sering membaca seputar rekonsiliasi,namun apa sebenarnya rekonsiliasi itu jika kita kaji lebih jauh. Sungguh luar biasa seberapa sering menyerukan panggilan untuk rekonsiliasi muncul dalam berbagai konteks.
    Namun demikian, "rekonsiliasi" masih merupakan istilah yang sangat diperebutkan, dengan perselisihan substansi, ruang lingkup,dan hubungan layak atau tidak untuk dunia politik. Perselisihan ini lebih kepada konsep dan telah menarik perhatian para sarjana yang tertarik pada bagaimana keadilan dan politik berpotongan, dan telah terbukti menjadi daerah subur untuk penelitian dan praktek. 
    Tanpa beberapa konsepsi yang jelas untuk rekonsiliasi, argumen itu selalu berputar-putar dan sulit jika tidak mustahil untuk mengembangkan kebijakan yang memadai untuk menangani masa lalu atau untuk mengevaluasi keberhasilan dan kegagalan kebijakan saat ini. Tanpa standar normatif, dengan kata lain, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan yang akan dirumuskan sulit.
    Dalam posting blog ini, saya akan memberi sketsa pendekatan normatif umum beberapa hal terkait rekonsiliasi. Dalam artian rekonsiliasi yang paling umum mengacu pada kondisi tanpa kekerasan, hidup berdampingan diterimanya kedua belah pihak dan keberadaan mantan musuh datang memberi pertanggung jawaban dan membayangkan satu sama lain sebagai sesama warga negara. 
  Perdebatan rekonsiliasi sering berpusat pada kesesuaian uji coba, komisi kebenaran, lustrasi (pembersihan), permintaan maaf resmi, peringatan, reparasi, amnesti, dan lembaga-lembaga lainnya dan kebijakan untuk mengatasi masa lalu. Dimana kekerasan adalah antara negara-negara (seperti antara Jepang dan Korea), rekonsiliasi biasanya mengacu pada proses untuk membangun hubungan sosial, politik, dan ekonomi di antara lawan dan mantan lawan (Kwak dan Nobles 2013).
    Hal yang normatif dari rekonsiliasi mencakup spektrum yang luas, mulai dari minimalis ke versi maksimalis. Misalnya,paham minimalis mengidentifikasikan rekonsiliasi dengan penghentian kekerasan politik terbuka, menghormati aturan formal hukum,dan komitmen untuk tetap menjadi bagian dari komunitas politik yang sama.penggiat ham maupun ilmuwan sosila yang bekerja dari perspektif ini menekankan bagaimana semua masyarakat politik yang dicirikan dengan nilai dasar pluralistas dan orientasi normatif,dan memiliki perbedaan pendapat menggunakan kesadaran moralnya sebagai unsur yang dasar kehidupan politik. 
   Rekonsiliasi dari pengertian ini peduli untuk menetapkan kondisi yang minimal bagi komunitas politik namun menghindari tujuan yang yang lebih berdasar untuk saling memaafkan, karena penekannya pada solidaritas sosial dan menghindari resiko adanya aksi yang koersif terhadap korban dan kelompok terpinggirkan lainnya (Dwyer 1999; Schaap 2005). 
   Sejumlah organisasi hak asasi manusia yang berorientasi secara hukum mengadopsi cara minimal ini sebagai dasar untuk mengevaluasi tingkat perdamaian dan rekonsiliasi. Ada, memang yang banyak berbicara untuk kisah ini, karena cenderung relatif mudah untuk mengoperasionalkan untuk tujuan evaluasi dan, merupakan sebuah standar yang "realistik" , solidaritas sosial dapat muncul,dan demokrasi stabil. 
    Namun, ini cara minimalis sering dikritik karena menetapkan harapan terlalu rendah; adanya komitmen untuk meletakkan senjata seseorang demi perdamaian dapat meninggalkan pelanggar hak asasi manusia yang lain dan belum tersentuh dan masih berkuasa, hubungan ekonomi bersifat eksploitatif utuh, dan kebutuhan korban tidak sepenuhnya ditangani. Satu metode yang agak lebih kokoh untuk hal ini secara luas dapat disebut sebagai "deliberatif demokrasi." Mereka meninggalkan paham minimalis,dan berpendapat bahwa reformasi kelembagaan dan musyawarah harus mengambil alih untuk meminta tanggung jawab, membangun identitas bersama, pengadilan, dan pampasan dapat dijadikan sebagai dasar untuk rekonsiliasi sementara masih menghormati keragaman dan hak-hak korban. 
      Untuk konsultatif, debat publik adalah komponen penting rekonsiliasi; korban kekerasan dan kelompok yang berbeda lainnya harus dimasukkan dalam perdebatan seputar ingatan sejarah dan membangun identitas bersama sebagai cara menegaskan kembali hak-hak dasar dan reintegrasi korban sebagai sesuatu yang sama moral dan politik. 
       Ini memerlukan sejumlah sasaran tambahan, termasuk interogasi yang penting dan peran aktif publik dari berbagai ideologi yang menunjang aksi kekerasan itu, beberapa penanggung jawaban bagi pelaku, dan pengakuan publik dan pengakuan untuk korban (seperti melalui pampasan). Kesetaraan dan reintegrasi korban, daripada harmoni sosial, karena ini merupakan tujuan umum untuk pendekatan ini (Dryzek 2005). 
      Menurut pendapat saya sendiri sudah dirumuskannya rekonsiliasi sebagai terjadi ketika identitas politik era-konflik utama tidak lagi memobilisasi loyalitas politik, dan identitas tumpang tindih lainnya muncul di posisi mereka. Fokusnya adalah pada kesetaraan politik dan sosial dengan penekanan khusus pada status korban dan korban (Verdejo 2009). 
      Uskup Agung Desmond Tutu, tokoh kemanusian asal afrika selatan, yang sering disebut untuk memberi konsepsi secara signifikan memperluas rekonsiliasi (Tutu 2000). Karyanya yang khas dari apa yang bisa kita sebut formulasi maksimalis, keberadaan rekonsiliasi dipahami sebagai pembaharuan hubungan sosial dan pribadi melalui pertobatan dan pengampunan. Sangat dipengaruhi oleh etika agama," yang berfokus pada memulihkan hubungan antara korban dan pelaku dan transformasi moral warga”. Pendekatan ini memberikan perhatian khusus terhadap pentingnya transformasi pribadi dan cara-cara di mana wacana etika agama dan lainnya dapat digunakan untuk mempromosikan kasih sayang, dan kasih karunia dalam hubungan interpersonal. Teori baru-baru ini telah menarik sumber daya agama untuk memperdalam pemahaman transformasi politik (Philpott 2012).
    Berbagai pendekatan menghasilkan sejumlah kebijakan dan program yang agak berbeda: misalnya, minimalis mungkin menekankan kebijakan yang memperkuat supremasi hukum dan perubahan tata tertib politik dimana bisa ikut serta dalam pemilu adalah salah satu manifestasinya sedangkan paham bermain imbang perhatian dari publik yang konsultatif untuk kebutuhan tambahan untuk mengamankan kondisi untuk kelompok historis yang berbeda untuk berpartisipasi secara setara dalam politik. 
    Maximalis membawa perhatian lebih lanjut untuk kebutuhan transformasi mendasar dalam nilai-nilai pribadi,dengan semua kelas,jangka panjang dari program maximalis pada tingkat masyarakat bahwa ini mungkin memerlukan waktu lama.namun Pada akhirnya, upaya rekonsiliasi ini ditarik keluar dan sering hanya sebagian yang berhasil, tetapi panggilan yang terus untuk rekonsiliasi diberbagai konteks politik menunjukkan permintaan untuk merespon masa lalu dan kekerasan sehingga tidak dapat dan tidak akan terulang.

REFERENCES:

Dwyer, Susan. 1999. “Reconciliation for Realists.” Ethics and International Affairs 31(1).

Dryzek, John. 2005.  “Deliberative Democracy in Divided Societies: Alternatives to Agonism and Analgesia” Political Theory, 33/2(2005) 218-242.

Kwak, Jun-Hyeok and Melissa Nobles (eds.) 2013. Inherited Responsibility and Historical Reconciliation in East Asia. New York: Routledge.

Murphy, Colleen. 2010. A Moral Theory of Political Reconciliation. Cambridge: Cambridge University Press.

Philpott, Daniel. 2012. Just and Unjust Peace: An Ethic of Political Reconciliation. Oxford: Oxford University Press.

Schaap, Andrew. 2005 Political Reconciliation. New York: Routledge.

Tutu, Desmond. 2000. No Future Without Forgiveness. London: Image.

Verdeja, Ernesto. 2009. Unchopping a Tree: Reconciliation in the Aftermath of Political Violence. Philadelphia, PA: Temple University Press.